Di era digital saat ini, data pribadi manusia telah menjadi komoditas paling berharga di dunia. Nilainya bahkan melampaui minyak, emas, atau tanah. Setiap kali seseorang mengunggah foto, melakukan transaksi daring, atau sekadar mencari informasi di internet, jejak digitalnya terekam secara permanen. Di sinilah muncul persoalan besar: apakah individu masih memiliki kendali atas datanya sendiri, ataukah data itu telah menjadi milik negara dan korporasi besar yang memantau setiap gerak pengguna? Pertanyaan ini mengantar kita pada isu penting abad ke-21: kedaulatan data dan hak atas privasi sebagai hak asasi manusia baru.
Kehidupan manusia kini nyaris tidak bisa dipisahkan dari teknologi. Dari bangun tidur hingga tidur kembali, aktivitas kita terekam oleh sistem digital: ponsel, aplikasi keuangan, kamera pengawas, dan media sosial. Data yang terkumpul itu membentuk profil pribadi yang lebih lengkap dari sekadar identitas di KTP. Masalahnya, banyak warga negara tidak menyadari bahwa data mereka sering digunakan tanpa izin yang jelas. Kasus kebocoran data dari lembaga publik, penjualan data pengguna oleh pihak swasta, hingga penyalahgunaan data biometrik untuk kepentingan politik menunjukkan lemahnya perlindungan hukum atas privasi di Indonesia.
Dalam konteks hukum, hak atas privasi merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM). Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda. Namun, norma ini masih bersifat umum dan belum mengatur secara tegas tentang perlindungan data pribadi. Di dunia internasional, hak atas privasi diakui dalam Pasal 12 Deklarasi Universal HAM (1948) dan Pasal 17 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966). Artinya, hak privasi memiliki legitimasi universal sebagai hak dasar manusia. Sayangnya, pengakuan di tingkat internasional belum sepenuhnya diterjemahkan ke dalam kebijakan nasional yang efektif di Indonesia.
Istilah data sovereignty atau kedaulatan data mengandung makna bahwa data warga negara merupakan bagian dari kedaulatan suatu bangsa. Negara tidak boleh membiarkan data warganya dikuasai atau diproses secara bebas oleh pihak asing tanpa pengawasan. Dengan kata lain, data adalah aset nasional sekaligus hak individu. Dalam kerangka ini, kedaulatan data bukan hanya soal keamanan siber, tetapi juga soal kedaulatan manusia atas dirinya sendiri di ruang digital. Seperti halnya hak hidup dan kebebasan berpendapat, hak mengendalikan data pribadi adalah bentuk kebebasan modern yang harus dilindungi negara. Kedaulatan data juga berkaitan dengan keadilan ekonomi. Di era ekonomi digital, data menjadi bahan bakar utama inovasi dan keuntungan korporasi global. Tanpa pengaturan yang adil, warga negara hanya menjadi "penambang data gratis" bagi perusahaan teknologi besar yang menikmati hasil ekonominya.
Indonesia sebenarnya telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) sebagai langkah awal menuju tata kelola data yang lebih beradab. Namun, pelaksanaan undang-undang ini masih menghadapi tantangan besar.
Pertama, belum ada otoritas independen yang benar-benar kuat untuk mengawasi pelanggaran data. Kedua, banyak lembaga publik dan swasta belum memiliki standar keamanan digital yang memadai. Ketiga, kesadaran masyarakat masih rendah---banyak orang menyerahkan data tanpa membaca kebijakan privasi aplikasi atau situs yang digunakan. Tanpa pengawasan yang kuat, hak privasi hanya akan menjadi slogan kosong di tengah derasnya arus komersialisasi data.
Masalah perlindungan data tidak bisa dipisahkan dari perkembangan teknologi baru seperti kecerdasan buatan (AI), big data analytics, dan internet of things. Algoritma kini dapat memprediksi perilaku manusia bahkan sebelum seseorang bertindak. Ini menciptakan dilema etika: di satu sisi efisiensi meningkat, tapi di sisi lain kebebasan individu semakin terancam. Konsep "HAM digital" muncul sebagai respon terhadap situasi ini. Ia mencakup hak atas privasi, hak untuk terlupakan (right to be forgotten), hak atas keamanan data, hingga hak untuk tidak dimanipulasi algoritma. Negara-negara maju seperti Uni Eropa telah merespons dengan kebijakan General Data Protection Regulation (GDPR) yang memberikan kontrol penuh kepada pengguna atas datanya. Indonesia perlu mencontoh langkah tersebut, tentu dengan menyesuaikan konteks sosial dan politik dalam negeri.
Negara memiliki dua tanggung jawab utama dalam isu ini: menjamin keamanan data publik dan melindungi privasi individu. Pemerintah tidak boleh hanya berperan sebagai pembuat regulasi, tetapi juga sebagai pelindung hak digital warga negara. Pembentukan lembaga pengawas independen seperti Komisi Perlindungan Data Pribadi menjadi langkah penting agar pengawasan tidak tumpang tindih dan bebas dari intervensi politik. Selain itu, perlu edukasi publik tentang literasi digital, agar masyarakat sadar pentingnya menjaga data pribadi. Pendekatan berbasis HAM harus menjadi fondasi dalam setiap kebijakan digital nasional, termasuk transformasi e-government dan digitalisasi layanan publik.
Di abad ke-21, hak asasi manusia tidak lagi terbatas pada kebebasan fisik atau politik, tetapi juga meluas ke ruang siber. Privasi dan kedaulatan data adalah bagian dari martabat manusia modern. Negara yang gagal melindungi data warganya sesungguhnya gagal menghormati hak asasi yang paling mendasar---hak untuk memiliki kendali atas diri sendiri. Sudah saatnya pemerintah, korporasi, dan masyarakat bersama-sama membangun kesadaran baru: bahwa data bukan sekadar angka di server, melainkan cerminan identitas dan kemerdekaan manusia.
Kedaulatan data bukan isu masa depan. Ia adalah agenda kemanusiaan hari ini. Tanpa perlindungan yang kuat, demokrasi bisa runtuh bukan karena kudeta bersenjata, tetapi karena pengawasan tanpa batas yang diam-diam mengikis kebebasan di balik layar ponsel kita.
Tentang Penulis:
Ahmad Putra Syahpitri Rambe adalah mahasiswa Magister Hukum Tata Negara fakultas hukum Universitas Sumatera UtaraÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI