Lihat ke Halaman Asli

Kris Budiharjo

Pegiat Jemparingan Mataraman gaya Keraton dan gaya Pakualaman Jogja

Sejarah Jemparingan Mataram di Kraton Jogja [1]

Diperbarui: 27 Januari 2023   00:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Busana janggan untuk jemparingan Mataram. Dok. Kris Budiharjo, 30/07/2022

Sejarah jemparingan 

(30 Juli 2022) Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat kembali mengulang sejarah jemparingan di Alun-alun Kidul. Para abdi dalem dan beberapa diantaranya adalah prajurit karaton Jogja, berbaur dengan masyarakat Umum duduk bersila di alun-alun sambil berlomba, bersenda-gurau dengan santun sambil melepas jemparing ke sasaran berbentuk wong-wongan (boneka orang-orangan dari jerami), yang digantung di dekat pohon Beringin kembar di tengan lapangan.

Siang ini lapangan Kagungan Dalem Alun-alun  Kidul, karaton Ngayogyakarta Hadiningrat tampak ramai dipenuhi para pemanah dari berbagai daerah, seperti Sumedang, Surabaya, Surakarta dan sekitarnya, daerah-daerah lain, dan tentunya dari ke-4 kabupaten dan kota di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Mereka mengenakan busana daerah masing-masing. kebanyakan pemanah putri memakai kebaya, jarit panjang, dan rambut disanggul atau ditutup kerudung; sedangkan pemanah pria mengenakan baju taqwa atau surjan. 

Yang spesial di LOMBA Jemparingan Mataraman gaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yang Perdana ini, selain lomba panahan ini tingkatnya NASIONAL, tampak di jajaran abdi dalem estri ada yang mengenakan baju janggan (lihat foto).

Baju taqwa / surjan untuk pria - baju janggan untuk wanita, adalah busana Jawa ciptaan Sunan Kalijaga. Bentuk modelnya persis sama, yang membedakan adalah kalau baju taqwa bagian depannya menutup ke dada kanan, sedang baju janggan kain depan menutup ke dada sebelah kiri.

Di dalam kraton Jogja, baju taqwa atau surjan masih dan hanya boleh dipakai oleh Sultan atau dengan seijin Sultan; sedang baju janggan masih dipakai menjadi salahsatu model busana abdi dalem putri, disamping model kebaya tangkeban (kebaya tanpa kutubaru).

Bukan (lagi) Senjata Perang :

Sejak jaman Sultan Agung di era Mataram islam, busur dan panah sudah dikenal sebagai salahsatu senjata untuk berperang, berburu, dan membela diri. Hal ini bisa dilihat di salahsatu lukisan pemanah saat pertempuran Mataram menyerang Batavia.

Di budaya Jawa, panah identik dengan jemparing atau anak-panahnya. Di pewayangan maupun model pusaka panah di Yogyakarta kita kenal panah Pasupati, senjata Cakra, panah Bramastra (brama, brahma = api; astra = panah), dll. Bentuk fisiknya seperti apa bisa dilihat di buku The History of Java-nya Thomas Stanford Raffless (1817).

Yang menarik dari Jemparingan Mataram lama, adalah penggunaan busur atau gendewo (ditulis dalam bahasa jawa: gandhewa) yang juga berfungsi sebagai senjata. Hal bisa mudah dikenali dari penggunaan bahan sayap busur dari kayu Walikukun, Secang, atau kayu keras tapi lentur lainnya. Khusus kayu Walikukun adalah bahan untuk landeyan / batang tombak yang sangat bagus. Saat jemparing habis, busur gendewo bisa difungsikan sebagai lembing / towok, baik untuk menusuk maupun dilemparkan ke musuh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline