Ketika pemerintah pusat menandatangani perjanjian divestasi saham Freeport pada 2018, harapan besar tumbuh di tanah Papua. Rakyat Papua percaya, inilah momentum bersejarah: emas dari perut bumi Mimika akhirnya sedikit kembali ke anak negeri. Namun delapan tahun berselang, pertanyaan mendasar muncul: saham 10 persen untuk Papua itu milik siapa? Apakah milik Provinsi Papua lama, atau milik Provinsi Papua Tengah yang kini menaungi Mimika lokasi tambang terbesar di dunia itu?
Saham yang Terbagi, Harapan yang Tergantung
Pemerintah Indonesia melalui PT Inalum (kini MIND ID) resmi memiliki 51,23 persen saham PT Freeport Indonesia. Dari angka itu, 10 persen diserahkan kepada daerah Papua sebagai bentuk keadilan fiskal dan afirmasi otonomi khusus.
Kesepakatan yang ditandatangani antara Menteri Keuangan, Menteri ESDM, Gubernur Papua, Bupati Mimika, dan Inalum menyebut: saham itu dikelola melalui BUMD PT Papua Divestasi Mandiri (PDM).
Namun, di atas kertas yang ditandatangani pada 2018 itu, belum ada Provinsi Papua Tengah. Saat itu, Mimika masih menjadi bagian dari Provinsi Papua. Sehingga, struktur hukum dalam Perda Nomor 7 Tahun 2018 dan Perda Nomor 1 Tahun 2020 hanya mengakui dua pemilik: Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Mimika.
Ketika Provinsi Baru Lahir, Saham Jadi Sengketa
Situasi berubah drastis pada 2022. Melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2022, Mimika resmi masuk wilayah Provinsi Papua Tengah.
Dengan logika administratif dan geografis, seharusnya seluruh aset daerah termasuk saham PDM menjadi bagian dari Papua Tengah. Namun hingga kini, BUMD PT Papua Divestasi Mandiri masih dikendalikan oleh Pemerintah Provinsi Papua lama.
Kondisi ini memunculkan paradoks: tambang Freeport berada di wilayah Papua Tengah, tetapi keuntungan sahamnya masih dikelola oleh provinsi induk.
Inilah yang membuat sejumlah tokoh dan akademisi, termasuk anggota DPR Papua John NR Gobai, menilai bahwa Papua Tengah memiliki dasar hukum dan moral untuk menuntut hak atas saham divestasi tersebut.