Tambang Grasberg di Papua bukan sekadar simbol kekayaan mineral terbesar di Indonesia, tetapi ujian nyata terhadap komitmen negara dalam Pasal 33 UUD 1945. Pasal yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ini sering diuji realitasnya di lapangan.
Ketika divestasi saham Freeport menjadi perbincangan publik, yang tampak hanyalah angka kepemilikan dan keuntungan finansial. Namun, pertanyaannya yang sesungguhnya: apakah rakyat Papua benar-benar merasakan manfaat dari tambang di tanah mereka sendiri? Atau, divestasi ini hanya simbol politik tanpa meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal?
Tambang Grasberg: Kekayaan Alam atau Kepentingan Asing?
Grasberg adalah salah satu tambang emas dan tembaga terbesar di dunia, dengan cadangan yang nilainya menembus triliunan rupiah. Selama puluhan tahun, mayoritas keuntungan diambil pihak asing, sementara masyarakat Papua tetap menghadapi keterbatasan akses pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Dilema konstitusional muncul: bagaimana negara menjamin Pasal 33 UUD 1945 dijalankan secara nyata? Kepemilikan saham Freeport oleh negara memang meningkat, tetapi apakah ini cukup untuk menjamin manfaat bagi rakyat Papua?
Divestasi Saham: Angka atau Kesejahteraan?
Divestasi saham seharusnya bukan tujuan akhir, melainkan jalan menuju kedaulatan ekonomi rakyat. Jika hanya berhenti pada kepemilikan saham, amanat Pasal 33 tetap menjadi wacana semu.
Beberapa aspek penting:
1. Pendidikan -- Banyak kampung di sekitar tambang masih minim fasilitas sekolah, guru terbatas, dan akses pendidikan tinggi jauh dari jangkauan.
2. Kesehatan -- Rumah sakit dan puskesmas kekurangan tenaga medis dan peralatan, meski tambang menghasilkan pendapatan besar.