Mencari Solusi Peningkatan Konsumsi Daging di Indonesia
Oleh: Dr. drh. Jafrizal, MM/ Dokter Hewan
Solusi dari Hal-hal yang Sederhana
Di meja makan orang Indonesia, daging sering kali hanya hadir sesekali. Bukan menjadi lauk sehari-hari, melainkan makanan istimewa yang muncul di hari raya, hajatan, atau saat ada rezeki lebih. Bagi sebagian besar keluarga, daging masih dianggap "mewah". Padahal, di balik sepotong daging, tersimpan gizi berharga yang menentukan tumbuh kembang anak, kekuatan tubuh, dan ketajaman akal.
Data menunjukkan, konsumsi daging sapi kita hanya sekitar 2,66 kilogram per kapita per tahun---jauh di bawah Malaysia yang hampir 9 kilogram, atau bahkan Myanmar yang sudah 9,3 kilogram. Apakah ini sekadar angka? Tidak. Angka ini adalah cermin bahwa banyak anak bangsa kita tumbuh tanpa cukup asupan protein hewani, yang semestinya menjadi fondasi bagi generasi cerdas dan sehat.
Mengapa Kita Begitu Sedikit Makan Daging?
Alasannya sederhana: daya beli. Harga daging yang tinggi membuat masyarakat kecil tak mampu menjangkaunya. Maka, mereka beralih ke makanan lain yang lebih murah. Tidak salah memang, tetapi bila gizi hewani terlalu jarang masuk ke tubuh, akibatnya akan terasa dalam jangka panjang: anak-anak yang pendek, mudah sakit, kurang fokus belajar, hingga dewasa yang cepat lelah bekerja.
Sementara itu, bangsa lain dengan daya beli lebih tinggi menjadikan daging sebagai bagian rutin dari pola makan. Di Korea Selatan, Jepang, atau bahkan negara tetangga kita, konsumsi daging adalah hal biasa. Tak heran bila mereka melahirkan generasi yang lebih bugar, lebih siap bersaing.
Apakah kita rela terus tertinggal hanya karena anak-anak kita tak cukup makan daging?
Solusi Tak Selalu Harus Besar
Kita sering berpikir solusi harus berupa kebijakan negara yang megah: impor besar-besaran, subsidi miliaran rupiah, atau investasi industri raksasa. Padahal, kunci perubahan bisa lahir dari hal-hal yang sederhana, bahkan dari dapur rumah tangga kita sendiri.
Bayangkan bila di kampung-kampung ada arisan daging sapi: setiap minggu satu keluarga mendapat giliran membawa pulang beberapa kilogram daging sapi dari iuran bersama. Bayangkan bila di pasar tersedia paket mini Rp10.000-an, daging sapi 100 gram yang cukup untuk campuran sop atau tumis keluarga kecil. Bayangkan bila warteg dan kantin sekolah menyediakan menu daging sapi murah, sehingga anak-anak bisa merasakannya, meski hanya sepotong kecil.
Atau mengganti dengan konsumsi daging ternak lainnya. Setiap rumah tangga didorong memelihara 2--3 ekor ayam atau kelinci di pekarangan. Hasilnya bisa dimakan sendiri atau dijual untuk membeli daging lain. Dengan cara ini, peningkatan pendapatan dan perbaikan gizi berjalan beriringan.
Apakah itu rumit? Tidak. Justru sederhana, dekat, dan mungkin dilakukan sekarang juga.
Investasi Gizi adalah Investasi Bangsa
Kita tidak boleh lupa: masa depan bangsa ditentukan bukan hanya oleh gedung tinggi atau jalan tol yang kita bangun, tetapi oleh gizi yang masuk ke tubuh anak-anak hari ini. Bangsa yang kekurangan gizi akan melahirkan generasi yang rapuh. Sebaliknya, bangsa yang cukup protein akan melahirkan generasi yang sehat, produktif, dan berdaya saing.
Oleh karena itu, solusi peningkatan konsumsi daging bukan sekadar urusan perut, tetapi urusan peradaban. Arisan daging mungkin terdengar sepele, paket daging Rp10 ribu mungkin terdengar remeh, tetapi jika dilakukan bersama-sama, dampaknya bisa luar biasa.
Menjadi Tanggung Jawab Bersama
Tugas ini bukan hanya milik pemerintah, bukan pula hanya urusan peternak. Ini adalah tanggung jawab kita semua---keluarga, sekolah, komunitas, hingga perusahaan. Setiap langkah kecil menuju peningkatan gizi adalah bagian dari membangun kualitas manusia Indonesia.
Dan pada akhirnya, yang kita perjuangkan bukan hanya soal daging di piring, tetapi masa depan bangsa di meja sejarah.
Karena anak-anak yang cukup gizi hari ini, adalah pemimpin yang tangguh esok hari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI