Lihat ke Halaman Asli

Erkata Yandri

Praktisi di bidang Management Productivity-Industry, peneliti Pusat Kajian Energi dan pengajar bidang Efisiensi Energi dan Energi Terbarukan pada Sekolah Pascasarjana, Energi Terbarukan, Universitas Darma Persada, Jakarta.

Revolusi Efisiensi Prabowo: Ambisi Besar atau Hanya Janji?

Diperbarui: 14 Maret 2025   22:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by maitree rimthong: https://www.pexels.com/photo/person-putting-coin-in-a-piggy-bank-1602726/ 

Awal Sebuah Perubahan

Saya ingat betul, dulu ayah saya selalu berpesan, "Kalau bisa lebih hemat, kenapa harus boros?" Pesan itu sederhana. Tapi, makin ke sini, saya sadar betapa sulitnya prinsip itu diterapkan di negeri ini. Terlalu banyak pemborosan. Anggaran menguap. Proyek mangkrak. Energi terbuang. Seolah-olah efisiensi hanyalah jargon kosong yang berulang kali digaungkan, tetapi tak pernah benar-benar menjadi budaya.

Saya membaca sebuah berita tentang proyek pembangunan jalan yang terbengkalai. Foto-fotonya mencolok, hamparan tanah merah berlubang, genangan air kecokelatan di antara bongkahan batu, dan rangkaian besi tulangan yang mencuat dari beton yang mulai berkarat. Plang proyek masih berdiri kokoh, bertuliskan angka miliaran rupiah, tetapi di lokasi itu hanya ada jalan setengah jadi yang tertutup semak belukar. Warga setempat tampak duduk di teras rumah, menatap jalan yang tak kunjung selesai. Seorang ibu menggendong anaknya, mengeluhkan betapa sulitnya berjalan di jalur itu ketika hujan turun. Seorang sopir angkutan desa bercerita bagaimana ia harus memutar lebih jauh, menghabiskan lebih banyak bahan bakar, hanya karena proyek ini terhenti tanpa kejelasan. Janji pemerintah sudah terlalu lama mereka dengar. Tapi hasilnya? Nihil.

Di media lain, saya membaca tentang program efisiensi yang sedang digalakkan. Seorang pejabat tampil di layar televisi, berbicara dengan penuh keyakinan. Katanya, penghematan anggaran harus menjadi prioritas. Setiap rupiah harus digunakan dengan bijak. Tidak boleh ada pemborosan. Ia berbicara dengan data, dengan paparan yang tampak meyakinkan. Namun, di saat yang bersamaan, laporan lain muncul. Anggaran perjalanan dinas dan rapat koordinasi justru meningkat. Konferensi di hotel berbintang tetap berjalan. Acara-acara resmi dengan jamuan mewah masih berlangsung. Seolah-olah penghematan hanya berlaku bagi sebagian orang, sementara kebiasaan lama tetap lestari di balik layar.

Program studi banding juga masih menjadi fenomena yang terus berulang. Para pejabat dikirim ke negara maju untuk mempelajari sistem pemerintahan yang lebih efisien. Tapi sepulangnya, tak ada perubahan signifikan yang terjadi. Sistem yang seharusnya dipermudah tetap berbelit. Digitalisasi yang dijanjikan masih berjalan lambat. Laporan perjalanan disusun rapi, penuh rekomendasi, tetapi implementasi di lapangan sering kali minim aksi nyata. Hanya tumpukan dokumen yang akhirnya tersimpan rapi di rak, menunggu dilupakan oleh waktu.

Indonesia sudah lama bergulat dengan permasalahan inefisiensi di berbagai sektor. Dari birokrasi yang lamban, industri yang boros energi, hingga alokasi anggaran yang tidak optimal. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk pembangunan sering kali bocor dalam rantai administrasi yang panjang dan berliku. Proses perizinan berbelit-belit, proyek infrastruktur mandek karena koordinasi yang buruk, dan subsidi energi yang tidak tepat sasaran menjadi gambaran sehari-hari bagaimana inefisiensi menjadi penyakit kronis di negeri ini.

Setiap pemerintahan selalu datang dengan janji reformasi. Namun, seberapa besar hasil yang benar-benar dirasakan masyarakat? Kita sudah melihat berbagai program efisiensi di masa lalu, tetapi banyak yang gagal diimplementasikan karena kepentingan politik dan resistensi dari dalam sistem itu sendiri. Budaya birokrasi yang gemuk dan cenderung koruptif menjadi hambatan utama bagi perubahan yang nyata. Tanpa komitmen yang jelas, efisiensi hanya menjadi wacana tanpa realisasi.

Namun, ada secercah harapan ketika Presiden Prabowo mencanangkan gerakan efisiensi nasional. Awalnya, saya mengira ini hanya sekadar retorika politik, sebuah janji yang terdengar indah namun sulit diwujudkan. Tapi ketika ia memulainya dari sektor birokrasi, memangkas anggaran yang tidak perlu, mempercepat proses perizinan, dan menggalakkan digitalisasi layanan publik, saya mulai melihat kemungkinan bahwa ini bisa menjadi awal dari perubahan besar. Jika birokrasi sebagai mesin utama pemerintahan bisa lebih ramping, cepat, dan efisien, bukan tidak mungkin dampaknya akan merembet ke sektor lain. Jika birokrasi bisa berubah, industri bisa lebih produktif, sektor energi bisa lebih hemat, dan keuangan negara bisa lebih sehat. Itulah harapan yang ingin diwujudkan melalui revolusi efisiensi ini.

Tapi pertanyaannya, mampukah revolusi efisiensi ini benar-benar mengubah wajah Indonesia? Ataukah ini hanya akan menjadi satu lagi bab dalam buku tebal sejarah janji-janji reformasi yang tak pernah ditepati? Kita sudah terlalu sering mendengar janji manis efisiensi. Tapi sampai kapan kita terus dibuai dengan angan-angan?

Masalah Klasik, Solusi yang Selalu Tertunda

Saya masih ingat berita tentang proyek infrastruktur yang anggarannya membengkak. Dari awalnya Rp100 miliar, tiba-tiba naik dua kali lipat. Alasannya? Macam-macam. Mulai dari perencanaan yang buruk sampai permainan anggaran. Itu baru satu contoh. Proyek-proyek serupa banyak terjadi di daerah lain, dengan alasan klasik: administrasi yang lamban, koordinasi yang buruk, serta praktik mark-up yang sulit diberantas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline