Lihat ke Halaman Asli

Isson Khairul

TERVERIFIKASI

Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

[Earth Hour 2016] Matikan Lampu pada Sabtu, 19 Maret 2016, Pukul 20.30-21.30

Diperbarui: 19 Maret 2016   17:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Mari kita sejenak mematikan lampu hari ini. Kita tentu bisa melakukannya, di mana pun berada, di seluruh dunia. Kita bisa melakukannya. Ini simbol, setidaknya untuk menggugah diri kita sendiri, agar kita menggunakan listrik seperlunya. Mari menjadi salah seorang dari penghuni bumi, yang turut mengurangi ancaman pemanasan global. Foto: koleksi wwf"][/caption]Hari ini, Sabtu, 19 Maret 2016. Mari mencintai bumi dengan mematikan lampu selama satu jam, pukul 20.30-21.30 waktu setempat. “Mematikan lampu adalah simbol sederhana untuk mengubah pola konsumsi energi kita,” ujar Nyoman Iswarayoga, Direktur Komunikasi dan Advokasi World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, pada Selasa (15/03/2016).

Ajakan mematikan lampu itu dituturkan Nyoman Iswarayoga, dengan penuh kesantunan. Bukan dengan suara yang meledak-ledak, tapi dengan intonasi yang menyentuh. Ia kerap menundukkan kepala, sebagai pertanda, betapa sungguh-sungguhnya ajakan tersebut. ”Pola konsumsi energi kita sehari-hari, sudah menggerogoti alam. Kalau kita tidak berubah dari sekarang, fenomena perubahan iklim akan menyulitkan kita,” ungkap Nyoman Iswarayoga lebih lanjut, pada Selasa (15/03/2016) sore, di Bangsal Sri Manganti, Kraton Yogyakarta. Sore itu, Nyoman Iswarayoga duduk di tengah dua sosok istimewa. Di sebelah kanannya, Sri Sultan Hamengku Buwono X, dan di sebelah kirinya, GKR Hayu (Penghageng Tepas Tandha Yekti Kraton Yogyakarta), putri ke-4 Sri Sultan.

Listrik Panaskan Bumi     

Kenapa kita diajak untuk mematikan lampu? Karena, semua orang di mana pun berada, di seluruh dunia, bisa melakukannya. Ini simbol, setidaknya untuk menggugah diri kita sendiri, sudahkah kita menggunakan listrik seperlunya? Maklum, banyak yang lupa mematikan lampu di luar ruangan, padahal matahari sudah bersinar terang. Juga, banyak yang lupa mematikan lampu kamar, meski sesungguhnya sedang tidak diperlukan. Demikian pula halnya dengan lampu di kamar mandi. Sepintas, semua itu nampak sebagai hal yang remeh-temeh.

[caption caption="Kika: Wicaksono yang dikenal dengan nama Ndorokakung, Pemimpin Redaksi Beritagar.id, memandu acara sebagai moderator, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Nyoman Iswarayoga, dan GKR Hayu (Penghageng Tepas Tandha Yekti Kraton Yogyakarta), putri ke-4 Sri Sultan. Mereka mengajak serta memotivasi kita untuk bersama merawat bumi, sejenak mematikan lampu hari ini. Mari turut mengurangi ancaman pemanasan global. Foto: isson khairul"]

[/caption]Namun, bila dilakukan dengan kesadaran bersama, efek positifnya sungguh luar biasa. Benarkah? Bandar Udara Internasional Ngurah Rai, Bali, misalnya, ketika mematikan sebagian lampu pada Hari Raya Nyepi, Rabu (9/3/2016) lalu, mampu menghemat pemakaian listrik hingga Rp 154 juta. Secara keseluruhan, pada hari-hari biasa, pelanggan PLN di Bali menggunakan listrik hingga 810 Mega Watt.  "Pada Hari Raya Nyepi, pemakaian listrik menurun hingga 40 persen,” ujar Deputi Manajer Komunikasi dan Bina Lingkungan Perusahaan Listrik Negara (PLN) Distributor Bali, I Gusti Ketut Putra, pada Minggu (6/3/2016).

Jika dirupiahkan, nilai penghematan listrik pada satu hari itu sekitar Rp 4 miliar. Dalam konteks pemanasan bumi, Hari Raya Nyepi tersebut mampu mereduksi emisi dari gas karbondioksida (H2O) sebanyak 20.000 ton, dalam sehari itu saja. Kita tahu, penghasil emisi karbon terbesar secara global adalah listrik. Sektor ketenagalistrikan di seluruh dunia menghasilkan hampir 40 persen emisi karbon. Nah, emisi karbon yang terutama berasal dari pembakaran bahan bakar fosil tersebut, merupakan penyebab utama pemanasan global.

Dengan demikian, ajakan Nyoman Iswarayoga untuk mematikan lampu selama satu jam hari ini, Sabtu (19/3/2016), adalah bagian dari upaya kita untuk bersama-sama mengurangi pemanasan bumi. Mudah-mudahan, setelah hari ini, kita akan tergugah untuk menggunakan listrik dengan bijak: seperlunya, sesuai kebutuhan. Artinya, bijak menggunakan listrik bukan sekadar untuk mengurangi pengeluaran tagihan listrik. Tapi, menjadi salah seorang dari penghuni bumi yang telah turut mengurangi ancaman pemanasan global.

[caption caption="Ngobrol santai tentang lingkungan bersama Sri Sultan Hamengku Buwono X ini diadakan di Bangsal Sri Manganti Kraton Yogyakarta. Areanya semi terbuka, hingga tidak perlu penyejuk udara yang menguras listrik. Dihadiri oleh lebih dari 100 netizen, yang antusias dengan berbagai upaya untuk mengurangi pemanasan bumi. Spirit selaras dengan alam sungguh terasa kuat dalam kebersamaan ini. Foto: isson khairul"]

[/caption]Memayu Hayuning Bawono

Bumi ini bukan milik kita, tapi milik anak cucu kita. Maka, alangkah tidak pantas bila pola konsumsi energi kita sehari-hari sampai merusak bumi, yang sesungguhnya bukan kepunyaan kita. Sri Sultan Hamengku Buwono X mengingatkan akan Memayu Hayuning Bawono. Dalam Bahasa Indonesia, maknanya adalah memperindah keindahan dunia. Ini adalah kandungan nilai-nilai luhur tentang kehidupan dari kebudayaan Jawa. “Keselamatan alam bumi kita, tergantung dari kita sendiri. Kejujuran akan membawa keutuhan masyarakat. Rasa kemanusiaan akan menjaga keselamatan sesama manusia,” ungkap Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang juga merupakan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada Selasa (15/03/2016) sore, di Bangsal Sri Manganti, Kraton Yogyakarta.

Intonasi Sri Sultan sungguh santun. Tapi, sebenarnya penuh dengan rasa cemas, terkait kejujuran kalangan industri perhotelan di Yogyakarta. Dari penelusurannya, Sri Sultan mengetahui, cukup banyak pengusaha hotel di Yogyakarta, yang secara serampangan membuat sumur bor sebagai sumber air bersih. Ada yang izinnya hanya untuk satu sumur bor, tapi yang mereka lakukan mengebor lebih dari satu sumur. ”Ini hanya salah satu contoh yang menunjukkan, betapa nilai-nilai kejujuran sudah terkikis. Padahal, ini terkait langsung dengan keselamatan bumi. Ini merupakan perilaku yang tidak menjaga keselamatan sesama manusia,” tutur Sri Sultan, tetap dengan nada santun.

Akibat perilaku tersebut, permukaan air tanah di Kota Yogyakarta dan Sleman mengalami penurunan hingga 4 meter. Jika dulu menggali sumur 7 meter sudah keluar air, kini minimal warga harus menggali sumur lebih dari 11 meter, baru menemukan sumber air. Penurunan permukaan air tanah tersebut terus terjadi secara signifikan, mengingat jumlah hotel terus pula bertambah secara signifikan. “Dulu, waktu hotel sudah berjumlah 38, saya minta di-setop. Walikota Sleman janji moraturium selama dua tahun. Nyatanya, izin terus saja diberikan dan sekarang sudah ada 59 hotel baru di sana,” ucap Sri Sultan tentang dilematis mengelola industri dan merawat lingkungan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline