Lihat ke Halaman Asli

Isna Syahidah

Sebagai Mahasiswi Pendidikan Sejarah Universitas Indraprasta PGRI

Mereka Tak Menunggu Zaman Berubah tetapi Mereka yang Mengubah Zaman

Diperbarui: 12 Juni 2025   19:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potret/Ilustrasi: Raden Ajeng Kartini Sumber https://id.wikipedia.org/wiki/File%3ACOLLECTIE_TROPENMUSEUM_Portret_van_Raden_Ajeng_Kartini_TMnr_100

Ilustrasi: Cut Nyak Dhien Sumber ChatGPT

Ilustrasi: Hj. Rasuna Said sumber Bangkit  https://images.app.goo.gl/Zp7mCzLLqfPqraYw9

Di era digital yang serba cepat ini, sejarah kadang terasa seperti folder lama yang jarang dibuka. Padahal, sejarah bukan hanya tentang masa lalu yang usang, ia adalah kompas identitas, fondasi berpikir kritis, dan pijakan dalam membaca arah bangsa. Memahami sejarah berarti menolak lupa. Ia bukan sekadar deretan tanggal dan nama tokoh, tapi narasi yang membentuk siapa kita hari ini dan menentukan ke mana kita melangkah esok.

Namun, narasi sejarah sering kali timpang. Disusun oleh yang berkuasa, dicetak oleh perspektif dominan, dan kadang menyingkirkan suara-suara lain terutama perempuan. Padahal, perempuan bukan figuran dalam drama kemerdekaan. Mereka adalah pemeran utama yang tak selalu tertulis dalam buku pelajaran, tapi jejaknya abadi dalam perjuangan.

Tulisan ini hendak menyoroti tiga perempuan yang melampaui zamannya. Mereka tak menunggu zaman berubah mereka yang mengubahnya. Raden Ajeng Kartini atau sering disebut Kartini yang menyalakan api pendidikan di tengah gelapnya feodalisme patriarki, Cut Nyak Dhien yang memimpin perang dengan keberanian melebihi bala tentara Belanda, dan Hj. Rasuna Said yang bersuara lantang di panggung politik dalam mengkritik penjajahan.

Dalam dunia yang masih terus memperdebatkan kesetaraan dan peran perempuan, kisah-kisah mereka bukan hanya catatan sejarah tetapi bahan bakar perubahan. Maka sebagai generasi muda yang lahir dari hasil perjuangan mereka, sudah saatnya kita tak sekadar mengenang, tapi menghidupkan kembali semangatnya. Bukan lewat senjata, tapi lewat pena, suara, dan aksi nyata.

1.Kartini

Kartini bukan sekadar ikon berkebaya dengan kutipan manis di buku pelajaran. Ia adalah pemikir progresif di zamannya. Beliau lahir di Jepara, Jawa Tengah 21 April 1879 dan meninggal di Rembang, Jawa tengah 17 September 1904. Seorang perempuan Jawa ningrat yang memiliki kesadaran kritis atas struktur sosial yang menindas kaumnya pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang patriarkis dan di tengah sistem kolonial yang mengekang, Kartini tampil sebagai suara yang membongkar kemapanan: bahwa perempuan berhak untuk berpikir, bermimpi, dan belajar.

Pendidikan, bagi Kartini, bukan sekadar alat untuk mengejar gelar, melainkan kunci kemerdekaan. Ia menyadari bahwa selama perempuan dijauhkan dari ilmu pengetahuan, maka selama itu pula mereka akan tetap diposisikan sebagai warga kelas dua dibungkam secara sistemik. Kartini menolak tunduk pada takdir itu. Ia menulis surat-surat yang kini menjadi artefak intelektual penting, menyuarakan kegelisahan dan ide-idenya tentang kesetaraan, kebebasan berpikir, serta pentingnya mendidik perempuan demi menciptakan bangsa yang bermartabat.

Namun perjuangannya tidak tanpa pengorbanan. Ia pernah mendapat kesempatan untuk belajar ke Belanda melalui beasiswa, namun memilih tetap di tanah Jawa dan menikah atas restu keluarganya. Pilihan ini bukan bentuk kekalahan, melainkan strategi. Dengan dukungan suaminya, Kartini justru mendirikan sekolah perempuan pertama dan membuktikan bahwa perjuangan bisa dilakukan dari dalam sistem, bukan hanya dari luar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline