Lihat ke Halaman Asli

Ismail Ilhams

Mahasiswa/Ilmu pemerintahan/Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Kultus Dedi Mulyadi: Karisma atau Kuasa Lokal?

Diperbarui: 22 Juli 2025   23:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dedi Mulyadi atau yang biasa kita dengar di media sebagai KDM, Pemimpin Jawa Barat ini dikenal sebagai pemimpin Visioner, merakyat dan figur populer dimedia media sosial terutama. Namun dimana ada pandangan positif pasti ada pandangan negatif, mulai dari pernyataan kontroversi serta kebijakan-kebijakan yang yang terasa seperti top-down satu suara dari atas melahirkan kebijakan tanpa persetujuan bersama.

Dalam waktu singkat KDM melahirkan beberapa kebijakan yang tidak hanya menargetkan ruang publik justru menuju ranah privat, apakah ini salah satu bentuk kepemimpinan yang efektif atau justru hanya mengambarkan orang kuat lokal berkarisma yang otoriter melalui basis-basis fanatisnya?.

3 kebijakan satu model

Salah satunya adalah Penetapan Jam Malam salah satu kebijakan yang sempat viral di berbagai media, terkhususnya pelajar dilarang keluar malam (21.00-04.00 WIB) kecuali untuk kegiatan pendidikan, keagamaan, atau keperluan ekonomi. Secara satu sisi merupakan kebijakan yang positif untuk menekan potensi adanya kenakalan remaja, tetapi di sisi lain dianggap sebagai objektifikasi Pelajar, Pelajar hanya dianggap sebagai ancaman ketertiban, bukan manusia.

Kritik serupa muncul atas Larangan Study Tour bagi Pelajar. Kebijakan yang sangat ramai perihal larangan study tour ini mendapatkan 2 pandangan, kebijakan ini dilatarbelakangi oleh protes wali murid siswa yang merasa terbebani dalam masalah ekonomi belum lagi kejadian kecelakaan rombongan pelajar seringkali terjadi. Yang pasti kebijakan ini mendapatkan penolakan keras dari pelaku industri pariwisata yang merasa dirugikan.pelarangan tanpa komunikasi lebih lanjut Mark Roelofs menyatakan: "politic is talk" tanpa itu menciptakan resistensi, bahkan demonstrasi, dari masyarakat bawah yang ekonominya terdampak langsung.

Tidak kalah kontroversi kebijakan Jam Masuk Sekolah Pukul 06.00 Pagi. Dalam satu podcast KDM mengatakan bahwa jam 6 pagi siswa sudah berada dikelas ia mengatakan kebijakan ini menimbukan hal positif udara yang masih segar, kondisi jalan belum macet dengan kondisi seperti itu peran orang tua sangat penting yang dimana anak-anak akan bangun lebih pagi dan tidur tidak terlalu malam. Pernyataan ini membuat beberapa kritikan Banyak orang tua terutama yang tinggal jauh dari sekolah atau bekerja di jam jam tertentu harus menyesuaikan ulang ritme hidup mereka. Kebijakan ini juga mengasumsikan bahwa semua keluarga punya modal sosial dan ekonomi yang sama, sebuah asumsi yang sering dikritik dalam pendekatan teknokratik ala James C. Scott, di mana negara berusaha menyederhanakan kompleksitas sosial lewat satu formula kebijakan.

Ketiga kebijakan itu menggambarkan jelas apa yang disebut oleh para ilmuwan kebijakan publik sebagai pendekatan top-down di mana kebijakan ditentukan sepihak oleh elite, tanpa konsultasi yang memadai kepada masyarakat. Dalam teori state-in-society, Joel S. Migdal bilang kalau negara gagal menjalankan fungsinya misalnya bikin aturan yang konsisten atau ngasih layanan publik yang merata maka akan muncul tokoh-tokoh lokal yang mengisi kekosongan itu. Tokoh-tokoh ini disebut sebagai local strongman: bukan karena jabatan resmi semata, tapi karena dia dipercaya, karismatik, dan dianggap bisa "beresin masalah".

Dedi Mulyadi adalah contoh nyata saat ini dari strongman lokal di Jawa Barat. Di tengah sistem pendidikan yang ribet dan lambat berubah, Dedi muncul sebagai figur yang langsung ambil tindakan. Bagi sebagian orang, gaya Dedi ini dianggap solutif. Nggak perlu rapat panjang, langsung bikin edaran. Nggak usah nunggu sistem berubah, langsung ambil alih. Ia hadir dengan "ketegasan" yang oleh banyak warga justru dianggap sebagai bentuk kepedulian.

Tapi di sinilah letak menariknya. Kepemimpinan Dedi itu bukan muncul dari sistem yang deliberatif atau proses demokrasi partisipatif. Ia naik karena masyarakat merasa negara kurang hadir. Seperti pada teori Max weber pada legitimasi karismatik, seseorang menurut karena kepercayaan pribadi pemimpin bukan karna kebijakan atau aturan yang dijalankan.

Fanatisme dan Kekuasaan

Dedi Mulyadi (KDM) dalam forum nasional Dewan Perwakilan Daerah pada 5 Mei 2025 menuai sorotan. Ia mengatakan, "Mudah-mudahan bapak-bapak nasibnya bisa jadi gubernur di daerah masing-masing, tapi jangan di Jawa Barat, berat lawan saya." Ucapan ini, meski terdengar sekedar candaan, justru memunculkan kesan arogan dan seolah ingin memonopoli ruang politik di Jawa Barat. KDM justru memberi sinyal bahwa Jawa Barat bukanlah ruang kontestasi terbuka, melainkan "kekuasaan pribadi" yang tidak layak diganggu. Ini memperkuat citra dirinya sebagai aktor lokal yang merasa paling berhak atas politik di daerah tersebut. Publik bisa saja menilai bahwa segala hal yang KDM tengah lakukan merupakan memainkan politik pencitraan yang berlebihan, sekaligus menunjukkan kecenderungan anti-kompetisi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline