Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Executive Lounge di Bandara, Seberapa Menguntungkan?

Diperbarui: 9 Mei 2019   16:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lounge Bandara Sultan Hasanuddin| Sumber: Tribunnews.com

Executive Lounge (selanjutnya ditulis EL) lazim terdapat di banyak bandara di negara kita. Bandara kelas sedang di ibu kota provinsi, rata-rata punya 2 buah EL. Tentu bandara yang lebih sibuk seperti di Soekarno-Hatta Jakarta, Juanda Surabaya atau Ngurah Rai Bali, EL-nya lebih banyak lagi.

Kebetulan, hari Minggu (5/5/2019) lalu, setelah tiga hari berada di kampung halaman di Payakumbuh dan Bukittinggi, Sumbar, saya harus kembali ke Jakarta naik pesawat dari Bandara Internasional Minangkabau (BIM) Padang.

Mengingat hari itu adalah hari terakhir sebelum masuk bulan puasa, saya khawatir jalan raya Payakumbuh-Padang akan macet parah, karena warga Sumbar punya tradisi balimau menyambut bulan puasa, dengan beramai-ramai pergi ke tempat wisata yang ada pemandian umum.

Eh ternyata perjalanan saya lancar jaya, sehingga alhasil saya kecepatan sampai di BIM. Ada sekitar 4 jam waktu kosong saya sebelum boarding. Untung saja kartu debit saya yang diterbitkan oleh sebuah bank milik negara berlaku di sebuah EL di BIM.

Sangat sepi di lounge bandara Padang, 5/5/2019 | Dokumentasi pribadi

Maka menunggu di EL tidak membuat saya bosan. Saya habiskan dua koran, Kompas Minggu dan Padang Ekspress, berselancar di dunia maya melalui wifi gratis, sambil mencicipi hampir semua makanan dan minuman yang disediakan. Tentu saya juga memanfaatkan ruang salat di EL tersebut buat beribadah.

Hanya saja saya sungguh heran, kenapa EL tersebut sepi sekali? Saya hitung selama 4 jam saya di sana, jumlah tamunya hanya sekitar belasan orang saja. Padahal kapasitasnya lumayan banyak.

Menjadi pertanyaan di benak saya, seberapa menguntungkan bisnis EL tersebut? Soalnya saya tahu EL yang saya masuki itu memakai nama baru, dan benar saja, kata resepsionisnya baru launching beberapa bulan yang lalu.

Mungkin saja pengelola yang lama mengalami kebangkrutan, karena saya juga menemui kondisi yang sama, sangat sepi, waktu EL di BIM masih memakai nama yang lama.

Memang pelanggan EL dari pengamatan saya sekilas, kebanyakan yang seperti saya, maksudnya yang mempunyai kartu tertentu yang bisa gratis masuk EL. Padahal bank semakin memperketat memberikan kartu yang ada fasilitas khususnya seperti masuk EL, hanya bagi nasabah prioritas saja.

Kalau tak punya kartu yang diterima EL, bagi ukuran kantong saya, terasa mahal bila harus membayar Rp 100.000 sampai Rp 150.000 untuk sekadar bisa duduk dengan nyaman serta memakan kudapan yang tidak begitu banyak jenisnya.

Bila makanan di EL-nya bervariasi dan enak seperti yang saya temui di sebuah EL di Bandara Juanda Surabaya, mungkin pengunjung yang tidak berkartu, tidak keberatan merogoh koceknya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline