Lihat ke Halaman Asli

Mochamad Iqbal

TERVERIFIKASI

Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Cerpen: Terdampar

Diperbarui: 21 Oktober 2020   11:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto oleh Simon Matzinger dari Pexels

Aku terbiasa mengarungi samudra sejak usia muda, meskipun ayah ku bukanlah seorang nakhoda yang handal, namun ayah ku mengajari ku berbagai macam tekhnik dalam menerjang ombak dan badai di samudra ini, aku terbiasa untuk berburu semua biota laut dari mulai kerang kecil hingga paus di samudra, berbagi macam rintangan ku hadapi sejak ayah ku mendidik ku menjadi seorang nakhoda untuk kapal ku sendiri, dan kini aku pemilik kapal besar yang beranggotakan satu orang juru mudi dan tiga orang awak kapal yang ikut berlayar bersama ku mengarungi samudra yang luas ini.

Ayah ku pernah berkata "Jangan pernah lengah dengan arah angin, sekali kau lengah putus leher mu" masih terngiang kalimat itu di telinga ku, meskipun kini beliau sudah terkubur bersama angan yang tak pernah padam dalam waktu yang cukup lama.

Aku terlena dengan angin buritan yang menerbangkan layar besar kapal ku, angin sejuk yang membuat laju kapal ku melesat sangat cepat, sejalan dengan arah tujuan ku, aku terlena dengan keindahan burung yang terbang bersama angin buritan yang membawa ku menuju samudra yang luas dan penuh dengan kemegahan bahari pada siang dan malam hari.

Seketika angin buritan berhenti berhembus di saat aku sedang menikmati perjalanan ini, kapal ku terhempas, merobek layar besar ku dan aku terdampar di sebuah pulau yang tidak pernah aku sambangi sebelumnya, sebuah pulau besar namun tidak terstuktur, mungkin begitulah karakteristik dari pemilik pulau ini, sebuah pulau besar dengan penghuni yang mayoritas penduduk asli sama halnya dengan ku hanya beberapa yang kulihat berbeda, sebuah pulau yang bisa menerima ku dengan kondisi kapal ku yang karam, aku masih mempelajari gaya berkomunikasi mereka, aku masih mempelajari aturan di pulau ini, aku bingung, aku seperti terasing, atau mungkin aku yang asing dengan bangsa ku sendiri.

Saat ini aku masih menanti angin buritan itu, apakah aku harus menetap selamanya di pulau asing ini, aku masih harus memperbaiki layar ku yang terkoyak, masih panjang waktu ku, aku penjelajah, aku tidak mampu berdiam diri mengikuti aturan dari pulau yang menurut ku asing ini, aku harus berlayar kembali, aku masih ingin menantang ombak di tengah samudra itu. 

aku harus selalu ingat "jangan lengah lengah dengan arah angin, atau leher mu akan putus".

-Tamat-

M.I




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline