Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Pidana Kerja Sosial Memupus Kepura-puraan Napi dan “KKN” Remisi

Diperbarui: 4 April 2016   22:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hasil Jajak Pendapat “KOMPAS” tentang alternatif pemidanaan pelaku kejahatan atau kriminalitas, termasuk koruptor, menunjukkan publik setuju dengan kerja sosial sebagai bentuk hukuman pidana pengganti kurungan penjara (Harian “KOMPAS”, 4/4-2016).

Hukuman kurungan atau penjara sudah terbukti banyak celah yang bisa dipakai narapidana (napi) untuk mendapatkan berbagai fasilitas dan remisi. Di Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) Sukamiskin Bandung, misalnya, napi koruptor bisa bercengkerama dengan keluarga, teman, sahabat, dll. di saung yang disediakan di lapangan tengah Lapas (NARAPIDANA KORUPSI: Hidup Tenteram di Sukamiskin, Harian “KOMPAS”, 30/3-2016).

Salah satu yang diharapkan napi adalah remisi atau pengurangan hukuman. Ada tiga jenis remisi dengan jumlah hari yang bervariasi antara 1-6 bulan, yaitu remisi umum, remisi khusus (hari raya besar agama) dan remisi tambahan. Bahkan, dulu napi yang mendonorkan darah menjadi pertimbangan untuk mendapat remisi. Tapi, belakangan darah donor napi ditolak PMI karena kasus HIV/AIDS dan penyakit menular yang dibawa darah yang belakangan banyak terdeteksi pada napi, khususnya napi narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya).

Dalam kaitan untuk mendapat remisi itulah, menurut alm. Syarifah Sabarudin, kriminolog UI (wawancara penulis dengan alm. di tahun 1980-an), ada napi yang menutupi perilaku kriminalnya dengan berpura-pura jadi orang baik di Lapas. Waktu itu Syarifah meneliti perilaku napi di sebuah Lapas di Banten. Mereka akan menaati semua peraturan di Lapas, menghormati pegawai, ringan tangan membantu, berbuat baik dan menjalankan ibadah agamanya.

Celakanya, tidak ada sistem di Lapas yang bisa mendeteksi kepura-puraan sebagian napi itu. Malah, napi yang berpura-pura baik itu justru dipuji dan menjadi prioritas untuk menerima remisi. Dengan menerima remisi masa hukuman pun akan terus berkurang.

Maka, ketika masa hukuman napi habis dan mereka keluar dari Lapas perilaku kriminal tetap melekat pada diri mereka. Maka tidak mengherankan kalau kemudian sering terjadi ada mantan napi melakukan perbuatan kriminal (residivis). Ini terjadi karena selama masa hukuman di Lapas mereka hanya berpura-pura (baik) sehingga pembinaan bagi mereka masuk dari telinga kanan keluar dari telinga kiri.

Apalagi kalau ada acara siraman rohani dan beridah secara bersama-sama mereka pun menunjukkan diri sebagai pemeluk agama yang taat. Lengkap dengan atribut agama dan tingkat laku yang agamis.

Melalui jajak pendapat “KOMPAS” itu disebutkan ada dua bentuk pidana sosial yang disarankan bagi napi adalah (a) Membantu/melayani masyarakat di tempat pelayanan publik (46 persen) dan (b) Menjadi petugas kebersihan di fasilitas umum (40,4 persen).

Sejumlah negara, seperti Belanda dan Inggris, menjalankan jenis hukuman kerja sosial. KUHP Belanda versi 1996 pada judul punishment tercantum jenis hukuman community services. Pasal 22 ayat (1) huruf c KUHP Belanda versi bahasa Inggris mencantumkan rumusan berikut. The judge may only impose a penalty of community service upon request from the eccused to perform such work (hukumonline.com, 26/8-2008).

Dalam RUU KUHP ada wacana pemberian hukuman kerja sosial (community service). Tapi ini ditujukan bagi napi dengan hukuman kurungan di bawah enam bulan. Memang, napi dengan hukuman maksimal enam bulan, terutama vonis berdasarkan peraturan daerah (Perda), menjadi beban bagi Lapas karena masa enam bulan tidak ada yang bisa efektif dilakukan terkait pembinaan terhadap napi.

Ada baiknya hukuman sosial diterapkan bagi pelaku korupsi. Soalnya, biar pun Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan Polri kian garang mengendus kasus suap dan korupsi, tapi tetap saja pengusaha dan pejabat tidak jera. Maka tidaklah mengherakan kalau kemudian Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat hingga Januari 2014 sebanyak 318 kepala daerah dari total 524 kepala daerah terlibat korupsi (jpnn.com, 15/2-2014). Itu artinya ada 60,69 kepala daerah terpidana korupsi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline