Lihat ke Halaman Asli

indra mangkuto

Mountaineering | Running | Cycling | Swimming

Mengunjungi Pesona Danau Laut Tinggal

Diperbarui: 16 September 2020   16:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekspedisi ini hanya diikuti tiga orang saja. Indra, Mada Rusli dan Adri. Rencana awal jumlah peserta yang akan mengikutinya lebih banyak namun karena berbagai halangan dan keperluan maka cuma tiga orang tim LHA yang siap berangkat.

Dengan basmallah, perjalanan ini kami mulai dari Padang Panjang hari Kamis tanggal 17 Oktober 2019 pukul 14.00 wib. Selama perjalanan menuju Pasaman Barat kami ditemani hujan lebat. Tepat pukul 17 lewat 5 menit kami sampai di perempatan Simpang Empat. Dari sini kita ambil jalur lurus menuju arah Ujung Gading. Jauh sebelum sampai di Ujung Gading di Simpang Alin belok kanan menuju Pasar Paraman Ampalu. Perlu cukup berhati-hati berkendaraan karena kondisi jalan banyak berlubang.

Sampai di pasar Paraman Ampalu ini kita bisa melengkapi kebutuhan logistik selama perjalanan. Dari pasar Paraman Ampalu ini jalan terus menuju Jorong Rabi Jonggor. Jalannya cukup mulus namun tidak terlalu lebar.

Pukul 18.30 kami sampai di Jorong Rabi Jonggor. Di Masjid Taqwa Rabi Jonggor ini kami singgah untuk shalat maghrib sekaligus jama' takdim dengan isya. Titik awal pendakian masih 4 km lagi yakni jorong Sitabu dengan ketinggian 450 mdpl. Informasi awal yang kami dapatkan jalan menuju Jorong Sitabu ini cukup ekstrim. Turunan tajam sepanjang 2 km dan pendakian berat juga sepanjang 2 km. Jalannya hanya terbuat dari cor-an semen ini cukup untuk satu mobil saja. Maka disarankan untuk pakai ojek atau mobil gardan dua. Tapi karena sudah agak kemalaman, kami yakinkan diri untuk terus melanjutkan perjalanan menggunakan mobil. Dan yang patut juga kami syukuri, sepanjang perjalan itu kami tidak berpapasan dengan mobil lain.

Akhirnya kami sampai juga di Jorong Sitabu, sebagai titik awal pendakian pukul 20.30 wib. Mobil kami parkirkan di halaman Masjid Taqwa Jorong Sitabu. Di depan masjid ada rumah Pak Wali Jorong. Disini kami melapor, sekaligus minta izin untuk menginap di Masjid.

Setelah memperkenalkan diri, kami banyak dapat informasi dari Wali Jorong bahwa sejak adanya peneliti dari Jerman ke Danau Laut Tinggal, banyak pendakian dilakukan oleh mahasiswa atau kelompok pencinta alam. Rumah Wali jorong ini sudah menjadi posko yang terbuka 24 jam. Makanya ketika kami minta izin untuk tidur di masjid tidak diizinkan. Benar saja, kami lihat ada foto kelompok mahasiswa yang terpajang di ruang tamu. Informasi dari Wali Jorong, satu hari sebelum kami sampai sudah ada kelompok mahasiswa UNP yang juga baru kembali dari Danau Laut Tinggal. Akhirnya malam itu kami tinggal di rumah Wali Jorong di kamar yang telah disediakan.

Jorong Sitabu ini dihuni sekitar 127 KK. Masyarakatnya keturunan Mandailing, kebanyakan bermarga lubis, nasution dan batubara. Bahasa yang digunakan keseharian adalah bahasa Mandailing.

Masih informasi dari Wali Jorong sebenarnya Jorong Sitabu bukan desa terakhir atau yang paling ujung. Masih ada desa tua Simpang Lolo dengan jumlah lebih dari 200 kepala keluarga. Namun sejak terjadinya bencana Galodo pada tahun 90-an desa tersebut ditinggalkan dan warganya di pindahkan. Namun desa itu sekarang masih terdapat satu keluarga yang mendiaminya.

Sebelum azan subuh kami sudah bangun dan berbenah. Selesai shalat, diskusi sejenak dengan jamaah. Bercerita pengalaman dan rencana perjalanan. Dari sini kami mengetahui bahwa tidak banyak warga yang pernah sampai ke Danau Laut Tinggal. Jarak perjalannya cukup jauh, yakni sekitar 25 km dengan 6 km menyusuri Sungai Batang Kanaikan.

Selesai sarapan yang disediakan Wali Jorong, pukul 08.10 kami memulai
perjalanan. Tentunya tidak lupa dulu berfoto bersama Wali Jorong, tokoh masyarakat dan warga lainnya.

Dari Jorong Sitabu ini tujuan perjalanan adalah desa tua Simpang Lolo. Jaraknya sekitar 9 km atau 4 jam perjalanan dengan melewati perkebunan. Perkebunan karet dan tanaman nilam menjadi usaha utama masyarakat. Setelah melewati jembatan bambu, kami sampai di sebuah perhentian. Kami menyebutnya "halte". Tempat duduk dari bambu dan diberi atap sederhana sebagai tempat perhentian warga melepas lelah sejenak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline