Lihat ke Halaman Asli

Beryn Imtihan

TERVERIFIKASI

Penikmat Kopi

Mindful Eating: Tradisi yang Tergerus Konsumsi Instan

Diperbarui: 10 Maret 2025   20:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (travel.kompas.com/image/2022/01/16/173609127/)

Azan magrib berkumandang, tanda waktu berbuka puasa. Di desa, makanan tersaji di meja sederhana. Kurma, air kelapa, ubi rebus, dan sepiring nasi dengan lauk ikan asin. Tanpa makanan instan, tanpa kemasan plastik. Semua berasal dari kebun, sawah, dan sungai setempat, mencerminkan kesederhanaan dan keberlanjutan.

Masyarakat desa telah lama menerapkan mindful eating secara alami. Mereka makan dengan kesadaran penuh, menikmati setiap suapan, dan mensyukuri asal-usul makanan yang mereka konsumsi. Pola ini bukan sekadar kebiasaan, tetapi warisan dari generasi ke generasi yang menjaga hubungan erat dengan alam dan sumber pangan lokal.

Namun, perubahan zaman mulai mengikis tradisi ini. Makanan cepat saji dan produk olahan merangsek masuk ke desa. Warung-warung kecil kini menjual mi instan, sosis beku, dan makanan ringan dengan pewarna buatan. Perlahan, pola makan alami bergeser ke arah yang lebih praktis dan instan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya.

Fenomena ini mengkhawatirkan. Pola makan instan cenderung rendah gizi dan tinggi kalori. Menurut Pollan (2008) dalam In Defense of Food, makanan olahan sering kehilangan kandungan nutrisi alami dan mengandung zat tambahan yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan dalam jangka panjang, terutama jika dikonsumsi secara berlebihan.

Dulu, sahur di desa selalu berisi makanan bergizi tinggi. Nasi jagung, sayur bening, ikan bakar, dan tempe goreng menjadi sumber energi sepanjang hari. Sekarang, sebagian masyarakat mulai memilih makanan cepat saji yang lebih mudah diolah. Sayangnya, pilihan ini sering kali miskin nutrisi dan tinggi zat aditif.

Perubahan ini bukan hanya tentang kebiasaan makan, tetapi juga soal kesehatan. Penelitian dalam Journal of Nutrition Education and Behavior (Bahl et al., 2013) menunjukkan bahwa konsumsi makanan alami lebih efektif dalam menjaga energi dan konsentrasi dibandingkan makanan olahan dengan kadar gula dan garam tinggi yang berisiko bagi metabolisme tubuh.

Selain itu, pola berbuka yang dulunya sederhana kini berubah. Jika dulu berbuka dimulai dengan air kelapa atau teh hangat, kini banyak yang langsung mengonsumsi makanan manis dan berlemak dalam jumlah besar. Gaya hidup ini meningkatkan risiko obesitas dan diabetes yang semakin umum terjadi di masyarakat pedesaan.

Menurut Jon Kabat-Zinn (1990) dalam Full Catastrophe Living, mindful eating membantu tubuh beradaptasi setelah berpuasa. Namun, kebiasaan makan berlebihan saat berbuka justru menghilangkan manfaat tersebut. Alih-alih menyegarkan tubuh, makan dalam jumlah besar malah membuat tubuh terasa lemas dan tidak nyaman.

Di desa, tradisi berbagi makanan masih terjaga. Tetangga saling mengirim makanan, masjid menerima sumbangan hidangan berbuka, dan anak-anak tetap menikmati takjil sederhana dari hasil kebun. Tetapi, makanan olahan kini mulai mendominasi, menggeser keberagaman pangan lokal yang dahulu kaya akan unsur tradisional dan budaya.

Dalam Food and Society, Carole Counihan (2013) menegaskan bahwa makanan bukan hanya soal gizi, tetapi juga alat sosial yang menghubungkan manusia. Jika makanan instan terus menguasai pasar desa, ikatan sosial dalam tradisi berbagi makanan pun bisa terancam, tergantikan oleh individualisme dalam pola konsumsi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline