Polemik tunjangan kinerja (tukin) bagi dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) kembali mencuat. Lima tahun sudah, para akademisi yang berstatus sebagai ASN di perguruan tinggi negeri (PTN) tidak menerima hak mereka. Pemerintah akhirnya berencana mencairkan anggaran sebesar Rp2,5 triliun untuk menyelesaikan permasalahan ini (Kompas, 2025).
Di saat yang bersamaan, realitas lain menghantui dunia pendidikan tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2024 berada di angka 4,82 persen.
Dari angka tersebut, lulusan perguruan tinggi menyumbang 13,55 persen, menjadi kelompok dengan tingkat pengangguran tertinggi dibandingkan jenjang pendidikan lainnya (BPS, 2024).
Dua isu ini memiliki benang merah yang tak terpisahkan. Kualitas pendidikan tinggi yang menurun akibat insentif yang tidak berjalan baik bagi para dosen berpotensi mencetak lulusan yang kurang siap menghadapi dunia kerja. Akibatnya, semakin banyak sarjana yang menganggur dan kembali ke desa tanpa kejelasan masa depan.
Fenomena ini menjadi pukulan bagi desa-desa di Indonesia. Desa, yang seharusnya menjadi ruang inovasi dan pertumbuhan ekonomi berbasis komunitas, justru menjadi tempat kembali bagi kaum muda yang gagal bersaing di perkotaan.
Kembalinya mereka ke desa seharusnya bisa menjadi peluang, namun kenyataannya banyak dari mereka tidak memiliki wadah yang sesuai untuk menyalurkan keterampilan dan pengetahuannya.
Tertundanya tunjangan kinerja dosen bukan sekadar persoalan administratif. Ini berkaitan erat dengan moral akademik dan kualitas pengajaran di perguruan tinggi. Seorang dosen yang kehilangan hak finansialnya tentu tidak akan bisa bekerja secara optimal.
Dalam jangka panjang, ketidakadilan ini menciptakan lingkaran setan: dosen kehilangan semangat mengajar, mahasiswa menerima pendidikan yang kurang berkualitas, dan saat mereka lulus, mereka tidak memiliki daya saing di dunia kerja.
Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena brain drain juga menjadi perhatian. Alih-alih mengabdi di desa asal mereka, banyak sarjana yang memilih merantau ke luar negeri atau ke kota-kota besar, meskipun hanya bekerja dalam sektor yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka (Riyadi, 2023).
Sebagian dari mereka yang kembali ke desa akhirnya berhadapan dengan realitas bahwa desa belum cukup siap menyerap tenaga kerja terdidik. Tidak semua desa memiliki ekosistem ekonomi yang mampu menampung sarjana.