Lihat ke Halaman Asli

Cerpen: Iblis Penguasa Hutan Jati

Diperbarui: 29 April 2016   10:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Pohon Besar

Kharanakameculhas. Itu nama yang kami kenal. Dia sendiri yang memperkenalkan diri pada orang yang bertemu dengannya. Namun, dasar kami ini orang kampung yang mencari mudahnya saja, kami memanggilnya Culas.

Apa arti nama panjang Culas itu, tidak ada yang mengetahui. Adapun nama Culas oleh orang kampung diothak-athik-gathuk, 1) karena bangsa mereka memiliki sifat umum semacam itu: culas. Karena Culas memang makhluk sebangsa iblis.

Seperti bangsa iblis lainnya, tentu saja Culas menyimpan banyak misteri. Satu diantara misteri itu terletak pada jenis kelaminnya.  Menurut nenek moyang, leluhur kami yang membuka desa yang kemudian kami tinggali ini, sudah bertemu dengan Culas semenjak pertama kali kakinya menginjakkan tempat ini.

Waktu itu siang hari, tatkala sedang mendirikan yup-yupan2)datang seorang perempuan. Parasnya cantik rupawan, usianya kira-kira 25 tahunan, payudaranya juga montok. Leluhurku itu, usianya sepantaran dengannya, tentu saja blingsatan dikunjungi orang cantik. Perasaannya antara bergelora dan curiga. Nafsu dan akalnya berbenturan.

Belum lagi selesai kecamuknya, perempuan itu bilang. “Kang sarapan dulu.”

Bujuk rayunya persis seorang istri yang sedang mengirim ransum di tengah tegalan ketika suaminya bekerja keras menggarap tanah. Leluhurku itu memang benar orang yang linuwih,3)suka prihatin, dan senantiasa waspada. Ia tahu makanan yang dibungkus daun jati itu ketika dibuka berisi binatang-binatang serangga; kalajengking, orong-orong, ada juga kecoaknya. Ihh!

Leluhurku menolak secara halus. “Jangan macam-macam, bawa pulang saja makanan itu untuk kerabatmu.”

Ya, perempuan itu mengerti. Mengerti yang dimaksud leluhurku, mengerti juga tenaga batin yang dimilikinya. Ia cepat-cepat mebungkus makanannya dan segera pergi.

Kedua kalinya, Culas menggoda leluhur kami itu dengan mengubah tanah yang sedang dicangkul untuk ditanami menjadi hamparan batu. Sejenak leluhur kami itu meneng,4) lantas mengambil sebuah kerikil dan melemparkannya di atas hamparan batu itu. “Yen dulur ojo nggoda, yen musuh tak depi saiki.” 5)

Seketika Culas muncul melolong-lolong, minta ampun. Kali ini ia datang sebagai laki-laki tampan berwajah bersih, usianya 30-an tahun. Ia bersumpah, tidak akan menggoda leluhur kami lagi sampai anak turunnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline