Beberapa hari yang lalu, saya menyaksikan langsung seorang pengendara motor membuang sampah plastik ke bahu Jalan Poros Pabbongkaya, Kelurahan Laikang, Kecamatan Biringkanaya, tepat di depan SMP Negeri 36 Makassar. Perilaku semacam ini bukan hanya mengganggu pemandangan, tetapi juga mencerminkan masalah yang lebih dalam: rendahnya kesadaran akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan.
Dalam hati, saya ingin menegurnya. Namun, muncul keraguan: Apakah ada payung hukum yang benar-benar mampu menjerat pelaku pembuang sampah sembarangan? Ternyata, jawabannya sudah ada, tapi belum sepenuhnya ditegakkan secara serius.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah secara tegas melarang siapa pun membuang sampah tidak pada tempat yang disediakan. Dalam Pasal 29 Ayat 1 huruf e, larangan ini sudah jelas. Namun, ironisnya, penerapan sanksi atas pelanggaran ini masih sangat lemah dan tidak merata di setiap daerah. Tidak heran jika perilaku membuang sampah sembarangan tetap dianggap sebagai hal remeh oleh sebagian masyarakat.
Darurat Sampah di Kota Makassar Makassar, kota yang terus berkembang, justru makin rentan tenggelam dalam tumpukan sampah. Di berbagai sudut jalan, di selokan-selokan, bahkan di area permukiman, sampah berserakan tanpa kendali. Kondisi ini diperparah oleh lemahnya sistem pengelolaan sampah dan keterbatasan armada pengangkutan. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) pun kerap kelebihan kapasitas.
Upaya dari Pemerintah Kota Makassar memang ada---mulai dari pengadaan tempat sampah, program penjemputan, hingga gerakan kebersihan. Namun, belum menyentuh akar masalah: budaya dan kesadaran masyarakat, serta ketegasan hukum. Ini bukan hanya soal teknis, melainkan tentang komitmen kolektif untuk berubah.
Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin (Appi), perlu mengambil langkah strategis yang lebih progresif. Di era keterbukaan informasi dan tantangan lingkungan yang kian mendesak, pemimpin daerah harus berani membuat terobosan. Masalah sampah tak bisa lagi dibiarkan hanya menjadi "pekerjaan harian Dinas Kebersihan."
Mencontoh Ketegasan Singapura Jika ingin melihat contoh nyata keberhasilan pengelolaan sampah yang berbasis penegakan hukum, mari kita tengok Singapura. Negara ini menetapkan denda keras bagi siapa pun yang membuang sampah sembarangan---hingga 1.000 dolar Singapura untuk pelanggaran pertama. Bukan hanya itu, pelaku juga diwajibkan menjalani kerja sosial sebagai bentuk hukuman yang menimbulkan efek jera.
Di Singapura, pelanggar yang berulang kali tertangkap bahkan harus memakai kaos bertuliskan "I Am a Litterbug" saat membersihkan fasilitas umum. Hukuman ini dirancang tidak hanya sebagai sanksi, tetapi juga sebagai edukasi sosial dan bentuk peringatan publik.
Hasilnya? Singapura menjadi salah satu negara terbersih di dunia. Kebersihan menjadi bagian dari identitas nasional. Hal ini tidak mungkin tercapai tanpa aturan yang ditegakkan secara konsisten, dan tentunya kesadaran kolektif warga negara.
Perlu Penegakan, Bukan Sekadar Himbauan