Lihat ke Halaman Asli

Ilhamdi S

Freelance Writer | Feature dan Human Interest Storytelling | Investigative Angle

Speak for The Species: Biarkan Aku Tetap Hidup di Rimba Nusantara

Diperbarui: 14 September 2025   16:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Harimau Sumatra (Sumber: Wikimedia Commons/Nyonyofoto)

Ini bukan cerita. Ini teriakan. Aku adalah Harimau Sumatra, (Panthera Tigris Sumatrae). Tapi gelar "Raja Rimba" itu sekarang terasa seperti candaan yang kejam. Aumanku dulu mengguncang hati hutan. Sekarang, ia seringkali terputus oleh deru mesin yang memotong-motong istanaku.

Kau pikir kami hanya kehilangan pohon? Kami kehilangan rumah. Kami kehilangan jalur kenangan. Kami kehilangan satu sama lain.

Kau tahu jumlah kami? Cuma sekitar 600 ekor. Jangan bayangkan kami berkumpul di satu hutan luas seperti di film. Kami terpecah-pecah, terpenjara di kantong-kantong hutan yang semakin kecil dari Aceh sampai Lampung.

Ini seperti penjara alam. Aku tidak bisa lagi menjelajah untuk menemukan pasangan. Anak-anakku tidak akan pernah merasakan betapa luasnya Nusantara ini. Kami terisolasi. Dan kesepian adalah awal dari kepunahan.

Bukan Konflik, Tapi Perampokan

Kau menyebutnya "konflik manusia-harimau". Itu bahasa yang sangat sopan untuk sebuah pembantaian.

Aku keluar dari hutan karena lapar. Karena rumahku sudah jadi kebun sawit. Lalu aku memangsa kambingmu. Dan balasanmu? Jerat baja yang mencabik leher, atau timah panas yang menghancurkan tulang.

Aku melihat saudariku di Aceh Timur mati dengan jerat melilit lehernya. Aku mendengar cerita saudaraku di Riau yang ditembak hanya karena mencari seekor sapi untuk menyambung nyawa. Setiap kematian adalah sebuah akhir. Tidak hanya untuk satu nyawa, tapi untuk seluruh garis keturunannya.

Ini bukan konflik. Ini adalah konsekuensi dari perampokan yang kalian lakukan terhadap rumah kami. Tapi, di tengah semua keputusasaan ini, ada pemberontak.

Mereka adalah para ranger yang kulitnya lebih kenal terik matahari dan dinginnya malam hutan daripada kasur empuk. Mereka berjalan puluhan kilometer, memotong jerat satu per satu. Mereka adalah pejuang tanpa tanda jasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline