Apakah Anda masih menyalakan televisi di ruang keluarga? Atau mendengarkan radio di perjalanan pagi? Jika jawabannya tidak, Anda bukan satu-satunya. Tapi sayangnya, Anda juga bagian dari masalah yang semakin pelik di negeri ini.
Hari-hari ini, kita lebih sering menunduk daripada menatap. Tunduk pada layar kecil 6 inci yang katanya pintar, tapi pelan-pelan membuat kita tak sadar waktu, lupa sekitar, bahkan menjauh dari keluarga. Anak-anak tumbuh dengan YouTube, TikTok, dan reels Instagram, sementara orang tua larut dalam drama Korea di aplikasi streaming. Sementara itu, industri televisi dan radio di Indonesia pelan-pelan meredup, dihantam oleh badai digital yang tak kunjung diatur undang-undangnya.
Masyarakat Tak Lagi Menoleh ke TV dan Radio
Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 210 juta masyarakat Indonesia kini terkoneksi internet, dan lebih dari 80% mengakses konten hiburan melalui gadget. Lalu apa kabar TV nasional kita? Stasiun televisi satu per satu mengurangi jam siaran, merumahkan pekerjanya, dan kehilangan pangsa pasar secara drastis. Di awal 2025, setidaknya dua stasiun TV swasta mengumumkan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, menyusul ketidakmampuan bersaing dengan algoritma digital yang lebih agresif dan tidak terikat regulasi.
Radio, yang pernah menjadi teman setia perjalanan dan pagi hari di dapur ibu kita, kini terdengar seperti suara dari masa lalu. Padahal, radio masih hidup. Ia hanya kehilangan panggungnya di tengah keriuhan podcast dan platform streaming yang lebih "kekinian".
Kecanduan Gadget Bukan Masalah Sepele
Mari bicara soal yang lebih serius: kecanduan gadget. Fenomena ini bukan lagi cerita anak-anak yang lupa makan karena main game. Kini, orang dewasa pun ikut tenggelam. Kecanduan ini mengubah pola tidur, menurunkan produktivitas, dan memperlebar jarak emosional antaranggota keluarga. Ironisnya, kita tidak memiliki kontrol yang jelas atas konten digital yang dikonsumsi masyarakat. Belum ada undang-undang sekelas UU Penyiaran yang benar-benar mengatur atau memfilter tayangan di media sosial dan platform streaming.
Akibatnya? Kita terseret dalam dunia yang nyaris tanpa pagar. Anak-anak bisa mengakses apa saja, kapan saja, dan dari mana saja. TV dan radio, dengan segala kekurangannya, paling tidak masih memiliki pengawasan isi siaran, sensor, jam tayang yang terkontrol, dan etika jurnalistik yang diawasi KPI. Sementara YouTube? TikTok? Netflix? Jawabannya masih "liar", setidaknya di mata regulasi Indonesia.
Lalu, Ke Mana UU Penyiaran?