Lihat ke Halaman Asli

Syamsurijal Ijhal Thamaona

Demikianlah profil saya yg sebenarnya

Syariat Islam adalah Keadilan dan Kemaslahatan (Tanggapan atas NKRI Bersyariah)

Diperbarui: 12 Januari 2019   09:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya kira tak satu pun umat Islam yang waras, yang tidak menghendaki untuk menerapkan syariat Islam dalam hidupnya. Bukankah hidup dalam naungan cahaya Ilahi, adalah sebaik-baik kehidupan? Sementara bagi umat Islam, cahaya ilahi dalam kehidupan ini tak lain dan tak bukan adalah syariat Islam.  

Dari kesadaran dan keinginan untuk menegakkan syariat Islam, muncullah pertanyaan : Bagaimana cara kita melaksanakannya? Untuk sementara kalangan, jawaban untuk pertanyaan ini simpel saja. "Laksanakanlah hukum-hukum Allah secara kaffah". Dalilnya adalah potongan dari ayat 44 surah Al-Maidah : 

"Wa man lam yahkumu bima anzalallahu faulaika humul kafirun" (Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka tergolong orang-orang kafir).  

Al-hasil, menurut golongan muslim ini,   hukum-hukum Allah yang terdapat dalam Al-qur'an dan Hadits mestilah menjadi hukum dalam aturan bernegara dan berbangsa.

Menjadikan Al-Qur'an dan Hadits sebagai sumber hukum, tepatnya sumber nilai untuk merumuskan hukum, tentu semua orang muslim sepakat. Tapi dengan serta merta menghelanya masuk, apalagi secara tekstual, menjadi hukum negara (formalisasi) atau dalam istilah populernya sekarang NKRI bersyariat, tidak semua muslim satu kata. Di titik ini terjadi silang pendapat.  

Kita semua mafhum, bahwa Alquran berlaku sepanjang masa, namun nyaris semua ulama juga sependapat bahwa Alqur'an dominan hanya menjelaskan secara global. Beberapa  hanya berisi petunjuk mengenai nilai-nilai universal. Bahkan sejumlah ayat yang dijelaskan secara rinci sekalipun, kandungan maknanya tetap saja multi tafsir. Di sinilah pentingnya posisi seorang penafsir yang akan menggali kandungan maknanya. Inilah yang lazim kita sebut sebagai ulama.

Karena itu, menjalankan aturan hukum menurut Al-Quran dan Hadist secara lebih teknis, tak lain adalah menerapkan tafsir ulama atas keduanya. Inilah yang biasa disebut dengan  fiqih.

Pertanyaannya, jika NKRI bersyariah tidak lain hanya upaya memasukkan rumusan hukum fiqih, maka fiqih yang mana yang mesti dijadikan patokan? Bukankah fiqih yang berupaya menjelaskan lebih rinci syariat Islam itu sangat beragam? Apalagi jikalau sudah terkait dengan hukum jinayat dan hudud, maka sangat variatif fiqih dalam menyikapinya.

Sejatinya dalam titian sejarah bangsa ini,  bukan tidak ada hukum Islam yang berlaku. Ada beberapa,  misalnya hukum perkawinan dan pewarisan, tapi sebelumnya hukum-hukum tersebut sudah melebur dalam tradisi dan kebiasaan di masyarakat. Hal ini yang kemudian diformalkan dalam aturan perundang-undangan.  

Sementara dalam hal lain, khususnya yang terkait jinayat, ulama kita cenderung melihat penerapan syariat itu pada konteks maqasidnya, yakni apakah proses hukum yang berjalan (meski tidak secara tekstual mengambil dari fiqih), sudah tercapai tujuan hukumnya atau tidak. Ulama-ulama kita yang tidak ngotot memaksakan segala hal dari aturan fiqih Islam harus "dinegarakan" menggunakan kaedah: 

 "Ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu" (Apa yang tidak bisa diterapkan seluruhnya, jangan juga ditinggalkan keseluruhannya). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline