Lihat ke Halaman Asli

Big Data untuk Bumi: memetakan Jejak Karbon dan Mendorong Ekonomi Hijau melalui Analisis Data

Diperbarui: 24 September 2025   21:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Big Data ekonomi Hijau ( sumber : ilustrasi gambar AI )

Majalengka - Memerangi pemanasan global.Dari Peringatan Dini hinggaSaat dunia bergerak menuju ekonomi hijau, Big Data muncul bisa jadi pahlawan tak terduga dalam memitigasi perubahan iklim. Lebih dari sekadar alat untuk efisiensi bisnis, analisis data skala besar kini menjadi mata dan telinga bagi pemerintah dan perusahaan untuk secara akurat melacak jejak karbon, memantau deforestasi secara real-time, dan mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan. Ini adalah era di mana "bit" dan "byte" menjadi senjata utama dalam m Akuntabilitas: Aplikasi Nyata Big Data untuk Lingkungan

  • Pemantauan Hutan via Satelit: Organisasi seperti Global Forest Watch memanfaatkan data satelit dengan algoritma machine learning untuk mendeteksi penebangan liar hampir secara real-time. Hal ini memungkinkan tindakan pencegahan yang lebih cepat dan akurat.

  • Jejak Karbon Perusahaan: Perusahaan startup kini menawarkan platform yang dapat mengintegrasikan data dari seluruh rantai pasok sebuah perusahaan---mulai dari konsumsi listrik, logistik, hingga bahan baku---untuk menghitung jejak karbon secara komprehensif dan transparan. Data ini menjadi dasar untuk pelaporan ESG (Environmental, Social, and Governance) yang semakin dipersyaratkan investor global.

  • Optimisasi Jaringan Listrik Pintar (Smart Grid): Di sektor energi, Big Data menganalisis pola konsumsi listrik dari jutaan rumah dan industri. Analisis ini membantu mengalirkan listrik dari sumber terbarukan (seperti panel surya dan angin) secara lebih efisien, mengurangi ketergantungan pada pembangkit berbahan bakar fosil.

 

2. Tantangan Besar: Data Governance dan Infrastruktur
Meski potensinya besar, implementasi Big Data untuk lingkungan menghadapi kendala signifikan:

  • Silo Data: Data lingkungan seringkali tersebar di berbagai instansi pemerintah, lembaga penelitian, dan perusahaan swasta, sehingga sulit diintegrasikan.

  • Kualitas Data: Akurasi data dari sensor IoT (Internet of Things) di lapangan, seperti sensor kualitas udara atau air, perlu terus diverifikasi.

  • Kapasitas Analitis: Banyak negara, termasuk Indonesia, masih membutuhkan peningkatan kapasitas SDM yang mampu mengolah dan menganalisis data lingkungan yang kompleks ini.

3. Masa Depan: Kolaborasi Data untuk Keberlanjutan
Para ahli melihat masa depan di mana kolaborasi data menjadi kunci. Konsep "Data Spaces" untuk lingkungan mulai dikembangkan. Ini adalah ekosistem data di mana berbagai pemangku kepentingan (pemerintah, perusahaan, LSM) dapat berbagi data secara aman dan terpercaya untuk memecahkan masalah lingkungan bersama-sama, seperti memulihkan kualitas udara di suatu daerah atau mengelola sumber daya air.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline