Lihat ke Halaman Asli

Iin Indriyani

Penikmat Keheningan

Cerpen | Antara Duka dan Cinta Akan Kearifan Tradisi

Diperbarui: 7 Desember 2019   10:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Oleh: Iin Indrayani

"Nak, tak usahlah kau ikut Bapak melaut. Kau sekolah saja, Bapak masih sanggup mengais rezeki untuk memenuhi kebutuhan kita." Tukas beliau sembari melepas tambang perahu yang terikat pada sebuah kayu.

"Pak, Samsul ini sudah besar. Samsul bukan anak kecil Bapak lagi. Izinkan Samsul ikut ya Pak. Ajari Samsul akan susahnya mengais rezeki agar kelak Samsul tidak menghambur-hamburkan uang bila kita diberi kesempatan menjadi orang yang lebih beruntung dari sekarang." Bujukku, memegang tangan beliau yang mulai keriput dan kasar.

Namun seperti yang sudah-sudah, Bapak tidak mengizinkan aku untuk melaut bersamanya. Terkadang aku merasa rendah, melaut saja tidak pernah bagaimana mungkin aku bisa menjadi bagian dari komunitas yang menggeluti budaya masyarakat pesisir ini?

Sejujurnya itu adalah sebagian dari cita-citaku selama ini. Bahkan bila aku diberi kesempatan, aku ingin sekali menjadi menteri kelautan dan perikanan agar bisa menjaga dan mengawasi kekayaan alam serta melindungi budaya nasional yang berabad-abad telah berkembang di negaraku ini.

Namun aku kira itu hanyalah mimpi di siang bolong. Sekolah saja aku di Aliyah. Mana mungkin aku bisa seperti Menteri Susi yang sering muncul di berbagai siaran televisi itu. 

Aku mengalah tak tega ke arah beliau. Kulihat beliau mulai menyalakan mesin dan menahkodai perahu usang milik kami sendirian. Entah mengapa sore itu aku merasa sedih. Airmataku menetes. Aku tak lagi menjadi Samsul yang tegar. Melihat Bapakku pergi hatiku seakan kehilangan sebagian jiwa yang selama ini membuatku kokoh dalam menjalani kehidupan. 

"Ya Allah, lindungilah bapakku, mudahkanlah jihadnya dalam mengais rezeki halal-Mu, Yaa Robbul 'Izzatii."

Do'a itu membawaku pergi dari sana. Meninggalkan tanah yang masih menaburkan bekas telapak kaki satu-satunya orangtua yang aku miliki.

***

Malam mulai merayap. Selesai sholat isya aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku memutuskan untuk duduk lebih lama di dalam mushola. Kulepas tasbih kaukah kecil yang melingkar di pergelangan tanganku. Kupetik lembut dan kumanjakan dengan irama zikir dan sholawat untuk keselamatan bapakku di luar sana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline