Ketika kita berbicara tentang masa depan Indonesia, pikiran kita sering kali melayang ke kota-kota besar: Jakarta, Surabaya, Bandung. Namun, akar kekuatan sejati negeri ini justru tersembunyi di balik hamparan sawah, jalan tanah, dan semangat gotong royong warga desa. Di sanalah Indonesia sebenarnya bertumbuh. Membangun Indonesia dari desa bukan hanya pilihan kebijakan, melainkan kebutuhan mutlak jika kita ingin negeri ini kokoh, adil, dan berkelanjutan.
Desa sebagai Fondasi Pembangunan
Desa bukan hanya unit administratif. Ia adalah ruang hidup, ruang budaya, dan pusat produksi pangan serta kearifan lokal. Sekitar 74% wilayah Indonesia merupakan wilayah perdesaan. Lebih dari 40% penduduk Indonesia tinggal di desa. Sayangnya, selama puluhan tahun, desa kerap diposisikan sebagai objek pembangunan, bukan subjek utama.
Padahal, desa memiliki potensi luar biasa: sumber daya alam, tenaga kerja muda, dan nilai-nilai sosial yang kuat. Potensi inilah yang harus diangkat menjadi fondasi pembangunan nasional. Kita bisa belajar dari negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, yang menata pembangunan dengan basis desa yang kuat.
Data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menunjukkan bahwa sejak bergulirnya Dana Desa pada 2015, lebih dari 250.000 km jalan desa telah dibangun, 1,4 juta meter jembatan desa, serta puluhan ribu fasilitas pendidikan dan kesehatan. Ini bukti bahwa ketika desa diberi ruang dan sumber daya, ia mampu bergerak dan berkembang.
Namun, tantangan masih besar. Banyak desa belum memiliki akses internet memadai, minimnya inovasi, serta kesenjangan dalam kapasitas pengelolaan keuangan dan perencanaan. Bahkan, tidak sedikit desa yang masih bergantung penuh pada pemerintah pusat tanpa kemandirian ekonomi.
Penguatan Kapasitas dan Ekonomi
Pertama, desa perlu menjadi pusat inovasi lokal. Program "Satu Desa Satu Produk Unggulan" harus diperluas dan diperkuat. Pemerintah perlu memfasilitasi pelatihan kewirausahaan, akses pasar digital, dan inkubasi usaha mikro berbasis potensi lokal. Misalnya, desa yang memiliki potensi pariwisata bisa dikembangkan menjadi desa wisata dengan pelatihan manajemen pariwisata dan promosi digital.
Kedua, literasi digital desa harus dipercepat. Internet bukan lagi fasilitas mewah, melainkan kebutuhan dasar. Dengan digitalisasi, desa bisa terhubung dengan pasar nasional dan global, serta memperbaiki pelayanan publik. Program Desa Digital yang sudah dimulai harus diperluas dengan infrastruktur dan pelatihan yang berkelanjutan.
Ketiga, pendampingan dan pemberdayaan harus lebih partisipatif. Pendamping desa tidak cukup hanya datang sebagai pengawas, tapi harus hadir sebagai fasilitator, mentor, dan motivator. Model kolaborasi kampus-desa, swasta-desa, hingga pemuda-desa perlu diperluas agar terjadi transfer pengetahuan dan semangat gotong royong baru.
Desa Mandiri sebagai Pilar Keadilan