Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Cerpen: Pawai Kartinian Anakku

Diperbarui: 17 September 2021   17:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pawai Kartinian, sumber: antarafoto.com

Matahari belum menunjukkan batang hidungnya, tetapi anak-anak kecil terutama perempuan sudah sibuk menggunakan hidungnya, membaui bedak-bedak putih yang tertabur di seluruh pipi. Sebagian memakaikan lipstik merah merona pada bibir mungil mereka. 

Ada yang mengenakan sanggul besar dan tebal di bagian belakang kepala, dikencangkan lewat beberapa tusuk konde dan dihias dengan sebuah mahkota dari kuningan yang mengilat begitu kuning berbentuk bando bertakhtakan kristal bening buatan.

Bagi yang sudah selesai berias, masing-masing memilih satu pakaian adat khas daerah tertentu yang terpajang rapi di lemari pakaian di sudut ruangan. Pakaian itu pasti sudah dipesan dan disewa oleh ibu mereka pada pemilik salon jauh-jauh hari.

Dengan kemayu, seorang anak gadis kecil berlenggak-lenggok di depan cermin. Jari-jemarinya yang lentik ia ayunkan perlahan, memperlihatkan warna kuteksnya yang merah muda. 

Ia memandang dirinya sejenak pada cermin. Lekukan bibirnya mengembang, merekah sempurna. Wajahnya penuh sukacita. Ia begitu bersemangat. Ia melempar senyum pada seorang wanita yang terlihat di cermin sedang duduk tidak jauh darinya. 

Wanita itu mendadak berdiri, membuka tas, mengambil dompet, menyerahkan beberapa lembar uang kepada pemilik salon sebagai pertanda bahwa pakaian adat yang dikenakan anaknya sudah lunas dan bebas digunakan seharian penuh. 

Ya, anak gadis kecil itu akan bertemu banyak teman dari berbagai sekolah, baik yang sepantaran dengannya maupun yang lebih senior, dari pagi sampai sore. Mulai dari TK, SD, SMP, hingga SMA, semua berhamburan di jalanan, berarak-arakan membentuk barisan pawai di tengah pusat kota, untuk meramaikan peringatan hari pahlawan emansipasi wanita kebanggaan, Raden Ajeng Kartini.

Secara serempak, mereka akan berjalan mengelilingi jalan-jalan utama, memamerkan busana adat Nusantara, dan berfoto bersama sebagai kenang-kenangan yang selalu saja berhasil menghangatkan hati jika diingat kembali.  

Aku masih terduduk di ruang tamu. Foto-foto itu kubuka kembali di album yang tersimpan di lemari. Terkadang, ketika hatiku sedang gundah, membuka lagi memori dan kenangan manis masa lalu adalah obat yang paling manjur.

Ya, siapa istri yang tidak susah ketika suaminya dipecat begitu saja dari tempat bekerja? Baru semalam, berita buruk itu sampai di telingaku. Secara samar, aku bisa mendengarnya dari mulut suamiku yang berbau miras, yang setelah membuka pintu rumah, ia berjalan sedikit terhuyung, menjatuhkan tubuhnya di atas kasur lantas berbicara seperti mengigau.

Berbeda denganku, ia akan mencari penghiburan dengan menghabiskan sedikit uang membeli minuman keras. Awalnya aku tidak setuju, tetapi selama ia pergi bersama Manto -- yang adalah teman dekatku -- aku tidak khawatir ia akan mabuk. Aku selalu berpesan pada Manto untuk menjaganya. Meskipun minum, jangan sampai hilang kesadaran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline