Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Cerpen: Restoran Lidah

Diperbarui: 11 April 2021   23:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Pixabay

Saya tidak menyangka diajak teman saya ke restoran itu. Saya tidak menduga mengapa saya bisa dengan mudah melangkahkan kaki begitu saja mengikuti ajakannya. Apakah karena saya sudah begitu rindu bertemu dengannya, sehingga saya ingin mengulang kisah-kisah persahabatan kami dulu yang begitu dekat dan akhirnya terpisah karena dia pindah ke luar kota? Apakah hanya sebab saya orangnya tidak enakan menolak ajakan orang?

Saya memang tidak tega dan sulit mengatakan tidak pada orang. Tidak itu adalah sebuah penolakan yang sering mengecewakan. Tidak itu kata yang kerap mematahkan semangat. Saya cukup tahu betapa menyedihkan derita dalam kesendirian. Saya cukup paham bagaimana rasanya tidak ditolong orang.

"Harus tengah malam?" tanya saya pada sahabat saya itu.

Ia mengangguk. "Kita tunggu sebentar lagi ya. Tidak jauh dari sini. Paling lama seperempat jam naik motor," katanya begitu santai. Tangannya menyalakan sebuah cerutu.

Rumahnya masih sama seperti dulu. Tetap klasik, seperti rumah orang desa. Padahal dia tinggal di kota. Dia memang suka gaya sederhana. Kalau bagi saya, kuno. Saya memang sengaja bertamu jauh-jauh ke rumahnya.

Sambil membunuh waktu, kami saling bercerita. Saya begitu bersemangat mendengarkan satu demi satu ceritanya yang dia utarakan dengan begitu menarik, sampai mata saya terus memandangnya lekat. Saya bersemangat mendengarkannya. Saya tidak berkata apa-apa, sebelum dia selesai berbicara. Saya tidak ingin menyakiti hatinya. Saya tahu, pembicaraan yang disela di tengah itu menjengkelkan sebagian orang.

"Mari berangkat!"

Dia mengambil motor di garasi. Kami berdua pergi ke restoran itu. Tidak berapa lama, kami sampai. Kami turun dari motor. Kami mendekati restoran itu. Restoran itu ada di pinggir kota. Sudah banyak orang mengantre membeli.

Restoran itu tidak seberapa besar. Bagian depan ada sebuah meja panjang dengan jajaran bahan makanan yang bebas dipilih konsumen, lalu bebas pula menentukan ingin dimasak seperti apa. 

Ada dua orang mengipas-ngipas sate. Ada tiga orang menanak nasi. Ada empat orang memotong sayuran dan mempersiapkan bumbu-bumbu. Keseluruhan pegawai itu bekerja tanpa bersemangat. Tangan mereka layu dan lambat dalam mengipas. Ketika memotong bawang, pelan sekali. Mengangkat nasi pun sesekali jatuh-jatuh nasinya. Ada yang terserak di lantai.

Sejenak saya berhenti. Di depan meja itu, saya mengedipkan mata berulang-ulang. Saya tidak percaya dengan apa yang saya saksikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline