Lihat ke Halaman Asli

Hilman Idrus

Fotografer

Tahun Politik, Hoaks, dan Pentingnya Literasi Digital bagi Generasi Z

Diperbarui: 21 Oktober 2022   14:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: Gerakan Pemuda Islam Indonesia saat menggelar aksi deklarasi Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 Damai di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, (25/3/2019).  (Foto: KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)

Gaung kontestasi politik 2024 belakangan ini mulai terasa getarannya, setelah sejumlah partai politik melakukan manuver politik membidik figur-figur potensial untuk dijadikan bakal calon presiden pada pemilu mendatang. 

Konsolidasi menjelang kontestasi politik seperti ini dipadang wajar dilakukan partai politik, namun tak sedikit memunculkan selentingan negatif publik, lantaran di tengah permasalahan ekonomi yang dihadapi masyarakat pasca pademi covid-19, partai politik dinilai seakan tidak menggubris.

Padahal, partai politik pada hakikatnya berfungsi sebagai penyalur artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat. 

Sehingga, idealnya harus menaruh perhatian pada permasalahan masyarakat, ketimbang hanya terjebak pada konsolidasi membangun komunikasi politik dan mengkalkulasikan peluang memenangkan pemilu. 

Buntut dari reaksi negatif yang dilancarkan publik atas manuver partai politik, dinilai sebagai langkah awal memicu tumbuhnya sentimen negatif terhadap partai politik, maupun bakal calon presiden, yang nantinya diekspresikan melalui media digital. Seperti propaganda dalam bentuk disinformasi di tahun politik.

Dan saat ini mulai menampakkan ekspresi ketidakpuasan tersebut, seperti publik mulai mencibir sejumlah partai politik yang melakukan konsolidasi politik bertepatan dengan momen perubahan tarif dasar Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dan tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan Kabupaten Malang, Jawa Timur. 

Dan, kritik yang ditunjukkan terhadap partai politik dan bakal calon presiden, pada dasarnya diasumsikan sebagai hal yang lazim dilakukan pada era demokrasi. 

Sebab, kebebasan berekspresi dan berpendapat, termasuk menyampaikan kritik kepada partai politik dan pemerintah, merupakan pilar penting demokrasi. Sehingga, para pimpinan parpol pun merespon kritikan publik sebagai hal yang wajar dalam dinamika berdemokrasi.

Namun, pada pripsipnya reaksi spontanitas yang diekspresikan publik melalui media digital, tidak semestinya direspon dengan gestur politik, melainkan dengan cara dan pendekatan yang humanis, agar nantinya menepis pandangan subjektif terhadap partai politik maupun bakal calon presiden yang diorbitkan partai politik. 

Oleh karena itu, reaksi-reaksi yang ditunjukkan publik, dapat dipahami sebagai benturan komunikasi politik yang berimplikasi terjadinya polarisasi di tengah masyarakat, yang nantinya berlanjut dan menghadirkan dampak negatif terhadap dinamika sosial politik pemilu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline