Lihat ke Halaman Asli

Hendra

Clear thinking equals clear writing

Meneropong Masa Depan Peranakan Diaspora Indonesia di Australia Lewat Kaca Mata Peranakan Tionghoa Indonesia

Diperbarui: 22 Agustus 2020   14:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Tantangan kami untuk kedepan adalah untuk generasi ketiga khususnya, kami akan merasa kehilangan satu budaya, etnis dan bahasa" ucap Endi Dharma, Presiden Indonesian Community Council dalam video refleksi 75 tahun kemerdekaan Indonesia bagi masa depan komunitas Diaspora di Sydney (youtube.com).

Kalimat itu mengingatkan kekecewaan ibu saya lantaran ke-Tionghoa-an anak-anak semakin pudar. Saya generasi ketiga Peranakan Tionghoa yang lahir dan besar di Jakarta. Meskipun orang tua lahir di Indonesia, mereka sempat mengenyam bangku sekolah berbahasa Mandarin sebelum ditutup rezim orde baru saat itu. Sampai hari ini ibu merasa lebih nyaman dalam lingkungan budaya Tionghoa.

Dari kecil ibu memaksa saya les dan berkomunikasi dengan Mandarin. Ketika saya balas dengan Bahasa Indonesia, kadang ibu mengingatkan bahwa saya ini orang Tionghoa. 

Pernah suatu hari saya balas balik bahwa bukan salah saya lahir di Indonesia, pergi ke sekolah berbahasa Indonesia dan lingkungan pergaulan semua berbahasa Indonesia. Saya merasa orang tua terlalu 'totok' untuk mengerti itu. Ke-Tionghoa-an saya hanya seputar warna kulit, makanan, perayaan imlek, panggilan mandarin kepada keluarga besar dan suka lagu Jay Chou.

Apa hubungan itu semua dengan Diaspora Indonesia di Australia?
Perbedaan bahasa, budaya, makanan, cara berpikir membuat generasi pertama merasa sebagai pendatang di negeri orang. Mereka masih memiliki kebiasaan, ikatan emosi yang kuat dengan tanah air dan merasa lebih nyambung bergaul dengan sesama orang Indonesia. Sebagian dari mereka kalau berkeluarga lebih suka menetap di Suburb yang banyak orang Indonesia atau minimal lingkungan orang Asia. Semua itu tidak ada salahnya.

Sebagai bagian dari generasi pertama Diaspora Sydney, saya juga ingin anak-anak tetap ingat ke-Indonesia-an mereka, setidaknya bisa berbahasa Indonesia dengan lancar agar silahturahmi dengan keluarga besar tetap terjaga.

Generasi kedua, ketiga ABI (Australian Born Indonesian) umumnya melihat diri mereka sebagai 'Aussie' atau 'Aussie of Indonesian heritage'. Waktu kuliah saya pernah bertemu seseorang bernama Sastra. Bahasa inggrisnya fasih layaknya penutur asli. Setelah  basa basi saya tanya "are you Indonesian?"

Sastra: "..............yes".
Saya: "wah kita sama donk Indo!"
Sastra: "no - I am Aussie".

Sejak itu Sastra tidak pernah lagi datang ke kelas, barangkali dia jengkel disamakan dengan FOB (Fresh off Boat) seperti saya.

Generasi pertama bisa merasa terpukul, kecewa atau sulit menerima ikatan nilai-nilai Indonesia anak-anak tidak sekuat mereka, bahkan mencap 'Kacang lupa kulit'. 

Sementara Peranakan Indonesia yang lahir dan besar di Australia merasa ini negeri mereka, tidak merasa sebagai perantau, generasi pertamalah yang masih 'totok' dalam urusan asimiliasi. Mungkin pengecualian bagi mereka yang pernah menghabiskan masa kecil bertahun-tahun di Indonesia dan cukup fasih berbahasa Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline