Lihat ke Halaman Asli

Eksistensialisme: kita pada awalnya tidak punya takdir

Diperbarui: 6 Oktober 2025   19:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi eksistensialisme

Eksistensialisme adalah tradisi pemikiran filsafat yang terutama diasosiasikan dengan para filsuf Eropa abad ke-19 dan ke-20. Meskipun terdapat banyak perbedaan doktrinal di antara mereka, para pemikir eksistensialis sepakat bahwa filsafat harus berangkat dari subjek manusia  bukan sekadar manusia yang berpikir secara rasional, tetapi manusia yang hidup, merasa, dan bertindak.

Nilai utama dalam eksistensialisme sering dianggap sebagai kebebasan, tetapi sebenarnya nilai tertingginya adalah autentisitas (keaslian diri). Dalam pandangan eksistensialis, individu memulai perjalanannya dari apa yang disebut sebagai sikap eksistensial, yaitu perasaan disorientasi, kebingungan, dan ketakutan di hadapan dunia yang tampak tanpa makna dan absurd. Banyak filsuf eksistensialis juga menolak bentuk filsafat akademik yang terlalu abstrak karena dianggap jauh dari pengalaman konkret manusia sehari-hari.

Salah satu tokoh paling berpengaruh dalam aliran ini adalah Jean-Paul Sartre. Ia menyatakan bahwa:

> “Manusia pertama-tama ada, bertemu dengan dirinya sendiri, muncul di dunia dan baru kemudian mendefinisikan dirinya.”

Pernyataan ini bermakna bahwa tidak ada naskah hidup yang sudah ditulis sebelumnya. Tidak ada peran tetap sejak lahir, dan tidak ada makna bawaan yang harus dijalani. Kita muncul begitu saja di dunia, lalu mulai menulis naskah makna hidup kita sendiri melalui tindakan dan pilihan yang kita ciptakan. Sartre menegaskan bahwa kita “dikutuk untuk bebas”  sebuah kebebasan yang tidak dapat dihindari.

Namun, kebebasan ini sering ditutupi oleh kehidupan sosial yang “default”, yaitu sistem nilai hasil kesepakatan bersama yang seolah menjadi standar hidup normal. Misalnya, mengikuti agama secara buta, mengejar karier demi status, membeli barang mewah, menikah, lalu punya anak. Semua itu dianggap sebagai jalan hidup ideal oleh masyarakat. Padahal, bagi eksistensialis, manusia dapat atau bahkan seharusnya  memilih jalan yang berbeda jika itu sesuai dengan dirinya yang autentik.

Kita bebas untuk menjadi ateis tanpa harus terikat pada agama mana pun, bebas untuk percaya atau tidak terhadap keberadaan Tuhan, bebas untuk menjadi pengangguran ketimbang terjebak dalam rutinitas kerja tanpa makna, bebas untuk tidak menikah, atau bahkan menjadi antinatalis yang menolak kelahiran baru. Pilihan-pilihan semacam ini sering dianggap melawan arus oleh masyarakat karena melanggar “kontrak sosial” yang telah diwariskan berabad-abad. Namun, bagi eksistensialis, hal itu bukan penyimpangan melainkan bentuk keaslian dalam menentukan arah hidup sendiri.

Manusia dan Asal-Usul Kehidupan

Pada dasarnya, manusia bukanlah makhluk istimewa atau memiliki tujuan kosmis tertentu. Kehadiran kita hanyalah hasil kebetulan dari proses evolusi panjang. Kehidupan di Bumi muncul setelah planet ini terbentuk melalui proses kimiawi yang dikenal sebagai teori sup purba (primordial soup), yaitu kondisi awal Bumi sekitar 3,7–4,0 miliar tahun lalu ketika kehidupan pertama muncul dari materi tak hidup.

Istilah sup purba pertama kali dikemukakan oleh Alexander Oparin (ahli biokimia asal Rusia) dan J.B.S. Haldane (ilmuwan asal Inggris) pada 1920-an. Mereka berpendapat bahwa atmosfer Bumi muda bersifat reduktif  kaya metana, amonia, hidrogen, dan uap air  tetapi miskin oksigen. Dalam kondisi tersebut, molekul organik sederhana dapat terbentuk secara spontan dari zat anorganik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline