Lihat ke Halaman Asli

Harrison Ruslim

Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Algoritma Sebagai Problem Sosial: Analisis Content Diversity pada FYP TikTok

Diperbarui: 29 Juli 2025   23:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Teknologi yang semakin cepat dalam kanal-kanal sosial yaitu media sosial,  merupakan sebuah perputaraan yang begitu cepat, sistem yang mengatur perputaran ini membawa kita kepada sebuah perubahan yang besar. Dalam media sosial besar dan yang sedang naik daun yaitu TikTok menggunakan sistem signifikasi algoritma atau biasa lebih dikenal dengan For Your Page (FYP), yang dimana setiap konten / berita yang muncul pada kanal tersebut, mengambil sempel dari riwayat like, komen, & share kita (konten yang sering berinteraksi dengan kita), dan menjadikannya sebuah spesifikasi tontonan yang akan kita dapatkan nantinya. Namun dibalik kemudahan dan personalisasi, apakah kita tidak mendapatkan sebuah problem sosial seperti content diversity?.

TikTok dapat memunculkan algoritma yang begitu baik dengan sebuah sistem yang sangat canggih, penampilan FYP yang berbeda-beda sesuai dengan tipe penggunanya. Algoritma yang canggih ini bekerja berdasarkan beberapa faktor seperti: interaksi penonton (like, share, komen, serta juga durasi menonton sebuah konten.), informasi konten (caption, hastag, dan juga suara.), serta pengaturan akun (lokasi, bahasa, perangkat.). Dengan demikian algoritma tiktok mampu untuk menampilkan sebuah konten sesuai dengan data yang ada diatas tersebut, perlu dikhawatirkan karena FYP sangat bekerja secara ekstrim untuk mempersonalisasi konten kita.

Sistem dengan keunggulan ini memiliki kemampuan yang menungkatkan engagement pengguna. Tetapi, personalisasi yang cukup berlebihan menurut saya dapat menimbulkan resiko homogenisasi konten, dimana pengguna cenderung hanya terpapar pada sebagian jenis konten yang itu-itu saja. Hal ini menjadi awal dari sebuah bmasalah filterf bubble dan echo chamber pada media sosial.

Keberagaman media dengan konten yang beragam pula sangat kita butuhkan untuk dapat lebih mengenal dunia secara luas, seperti informasi-informasi yang beragam dan juga luas. Oleh karena itu Content Diversity tidak saja menampilkan kekayaan pengalaman pengguna, melainkan dapat mendorong pengetahuan yang lebih baik dari segala sisi, meminimalisir resiko polarisasi, serta mendukung keputusan yang lebih rasional. Pada akademisi menyatakan bahwa keberagaman sebuah konten akan dapat meningkat jika ada keterlibatan aktif, serta daya ingat penonton, dan juga tentunya memberikan dampat positif kepada perilaku konsumen, seperti dalam konteks Word of Mouth (WOM) serta keputusan pembelian.

Namun, algoritam yang terlalu terpaku pada personalisasi terkadang menlalaikan keberagaman ini. Pengguna lebih sering diperlihatkan konten sesuai dengan personal mereka, tanpa memandang sudut pandang lainnya, ini membuat seluruhnya menjadi terbatas. Akibat yang fatal jika media sosial terus-menerus begitu, dapat menimbulkan bias yang kuat dan kognitif serta mempersempit daya pemikiran pengguna.

Filter Bubble yang dicetuskan oleh Eli Pariser, menunjukan bahwa sebuah lingkungan dengan informasi yang sangat mengacu pada algoritma, sehingga penonton terkurung dalam suatu tema / informasi yang itu-itu saja, tentunya berdasarkan preferensi mereka sebelumnya. Selain itu ada juga Echo Chamber, dimana individu hanya bisa bersosialisasi denga lingkungan / kelompok tertentu (pandangan serupa), sehingga menimbulkan keyakinan bahwa narasi yang mereka terima benar-benar kuat adanya, tanpa tantangan dari perspektif lainnya.

Masalah keberagaman juga muncul dalam algoritma tiktok dengan bentuk kritik terkait bias algoritmik. Penelitian merujuk bahwa algoritma sering kali memperjelas bias rasial, gender, ataupun kelompok minoritas lainnya, hal ini dilakukan baik secara langsung melalui data penelitian maupun melalui pola interaksi yang tidak langsung. Contohnya: tiktok sering memunculkan atau merekomendasikan sebuah konten dengan karateristik yang spesifik (ras tertentu), dan juga dinilai gagal dalam mendeteksi serta mengatur hate speech yang sering ditujukan kepada kaum marginal.

Dari banyaknya uraian diatas, dapat kita lihat bahwa jelas algoritma yang dihadirkan tiktok melalui FYP bukan saja sekedar alat teknis, tetapi juga memiliki aktor sosial yang membangun pola konsusmsi publik, serta dinamika sosial yang luas. Algoritama yang tidak jelas, tidak transparan, tidak akuntabel mampu memperdalam kebiasan pengguna, menyempitkan keberagaman konten, dan juga menciptakan lingkungan digital yang ekskulusif dan tidak sehat.

Masalah ini semakin jelas karena kebanyakan pengguna tidak menyadari akan hal ini, bagaimana sebuah algoritma muncul dan bekerja, sampai mampu membuat sebuah dampak yang mendalam terhadap pengalaman mereka. Literasi juga sangat dibutuhkan dalam memahami algoritma ini, masyarkat lebih terlihat menerima begitu saja algoritama secara pasif, tanpa melihat atau mengeksplorasi konten-konten yang berbeda.

Ada 4 Solusi yang saya rasa harus dipertimbangkan sebagai bahan pengembangan media sosial terlebih khusus tiktok.

- Transparansi Algoritma
Transparansi algoritam tiktok sangat dibutuhkan, agar dapat dinilai oleh pihak pengguna maupun pihak lainnya, bahwa apakah konten algoritma ini tidak memunculkan bias-bias tertentu. Jika diperlukan lebih disaraknkan menggunakan audit yang independen.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline