Kadang aku bisa menangis tersedu-sedu. Sebaliknya, kadang aku bisa merasa begitu bahagia. Semuanya, tanpa sebab yang jelas. Gimana suasana hati saja!
Tak cukup disitu, kadang aku juga merasa hidupku tak berguna. Aku bertanya-tanya sendiri, kenapa aku tidak mati saja jika memang hidupku di dunia tak ada manfaat.
Aku seorang introvert. Terbiasa memendam segala perasaan. Dulu, setiap ada masalah, aku selalu memanggil ibuku dalam hati. Entah apakah itu yang dinamakan ikatan batin, ibu akan segera meneleponku di rantau. Semua masalah rasanya menguap begitu saja.
Tapi kini seiring usia ibu, dan karena trauma di kepalanya akibat benturan, ibu tidak boleh terlalu berat berpikir. Kepalanya mulai ringkih dan terasa berat. Sakit bukan kepalang jika berpikir agak keras. Karena tak mau membebaninya, sekedar memikirkannya pun aku tak berani. Aku tak mau bertelepati dengannya.
Jadilah, tak ada lagi tempatku mencurahkan isi hati.
Sampai akhirnya semesta membawaku pada buku "Filosofi Teras". Dari buku karya Henry Manampiring, salah satu yang aku rasakan di atas yaitu merasa diri tak berguna adalah gejala depresi. Secara terpisah, aku juga menemukan ternyata aku menderita luka batin.
Selama ini, aku cenderung cuek tidak peduli pada kesehatan mental. Padahal abai terhadap kondisi mental ini ibarat luka akan menimbulkan "infeksi" jika tidak diobati. Dari ciri-ciri yang disebutkan Dewi Rochma ESQ Wellness Coach, di antara gejala yang aku alami telah menunjukkan tanda infeksi di antaranya mood swing parah, overthinking, menghindari realita hingga self sabotage atau menyabotase diri sendiri.
Kembali Pulih dan Bangkit
Filosofi Teras sangat membantuku keluar dari kondisi mentalku yang begitu drop. Prinsip dikotomi kendalinya menolongku mengelola emosi negatif. Bahwa, ada dua hal dalam hidup yaitu yang dibawah kendali kita dan yang berada diluar kendali kita. Seperti perasaan takut itu berada dalam kendali kita. Dimana pikiran memegang peran utama. Sebaliknya, apa yang orang pikirkan tentang kita itu di luar kendali kita. Jadi, buat apa dipikirkan?
Belajar dikotomi kendali, perlahan-lahan membuatku bisa mengontrol emosi negatif. Marah terhadap perlakuan orang lain itu dalam kendali kita. Sebaliknya, orang marah terhadap kita itu diluar kendali kita. Yang bisa kita kendalikan adalah respon diri. Sehingga, aku sangat belajar mengendalikan apa-apa yang bisa aku kendalikan.
Sementara itu, menurut Dewi Rochma ESQ Wellness Coach, cara detox luka batin agar tidak makin parah adalah dengan:
- Validasi perasaan, akui saja jika memang sakit, takut atau apapun jangan menolak. Ini sangat berkebalikan dengan aku yang merasa semua baik-baik saja. Bahkan, dalam filosofi teras atau stoisisme, terlalu berpikir positif artinya menipu diri sendiri. Yang benar adalah jujur bahkan terhadap hambatan atau halangan yang terjadi.
- Cari ventilasi emosi melalui menulis jurnal, menggambar, mendengarkan musik, atau curhat kepada teman yang dipercaya. Intinya, jangan dipendam sendiri. Di sini aku pun merasa jika kondisi mentalku ternyata memang sangat parah. Hampir tiga bulan, aku benar-benar rasanya tak bisa menulis hingga berusaha keras kembali.
- Menerapkan self care bukan self destruction dengan mengganti kebiasaan buruk dengan yang baik seperti olahraga, jalan-jalan santai.
- Belajar memaafkan (tapi bukan lupa). Dewi menekankan memaafkan bukan berarti membenarkan tapi agar bisa move on tanpa beban.
- Meminta bantuan kalau sudah berat, bisa ke profesional seperti wellness coach atau therapist. Yang penting diingat adalah kita tidak sendirian.
Bersyukurnya aku tetap waras dan tidak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Semua itu aku yakini adalah anugerah Tuhan termasuk menunjukkanku kepada buku "Filosofi Teras" dan menemukanku pada tulisan-tulisan Dewi Rochma.