Lihat ke Halaman Asli

Hanzizar

Pengamatiran

Tragedi Rinjani, Netizen Ngejudge Lebih "Cepat" dari Kerja Tim SAR

Diperbarui: 25 Juni 2025   15:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Proses Evakuasi Jasad Juliana Marins (Sumber: SAR Mataram, NTB)

Sebelum jasad Juliana Marins benar-benar terangkat dari jurang Gunung Rinjani, lini masa media sosial sudah penuh dengan vonis dan kemarahan. Para keyboard warrior---yang tak pernah mencium bau kabut gunung atau tahu seperti apa rasanya terpeleset di tebing licin---tiba-tiba menjelma menjadi pakar evakuasi, ahli cuaca ekstrem, dan komentator kebijakan darurat. Duduk santai dengan sinyal penuh dan kopi hangat, mereka mengetik dengan nada paling tinggi, seolah mengerti segala hal tentang penyelamatan di ketinggian 3.700 meter.

Padahal, yang terjadi pada Juliana bukan kelalaian negara atau kegagalan sistem. Dia mendaki dengan pemandu resmi, melalui jalur yang sah, mengikuti SOP yang berlaku. Namun alam punya aturan yang tak tunduk pada manusia. Begitu dia tergelincir ke jurang sedalam ratusan meter, lokasi itu bukan hanya sulit dijangkau---tapi juga menantang secara teknis, berbahaya secara cuaca, dan mematikan jika didekati tanpa kalkulasi cermat. Tapi bagi netizen yang terbiasa dengan budaya instan dan mentalitas "semua harus cepat", segala keterlambatan dianggap kelemahan. Tak peduli nyawa orang lain dipertaruhkan dalam prosesnya.

Padahal pemerintah tak tinggal diam. Basarnas langsung bergerak. Pemprov NTB kerahkan logistik. Kementerian Kehutanan menutup jalur pendakian agar tak ada korban susulan. Drone thermal dikerahkan, helikopter disiapkan, dan tim darat berjalan kaki ke lokasi yang curam dan berselimut kabut. Tapi semua ini harus tunduk pada realitas alam. Bukan karena tak mau cepat, tapi karena tak bisa gegabah. Menyelamatkan satu nyawa tidak boleh mengorbankan banyak nyawa lainnya.

Sayangnya, semua itu tak cukup bagi para penghakim daring. Mereka tidak paham bahwa evakuasi di pegunungan tidak semudah menelpon ambulans di tengah kota. Mereka tidak peduli bahwa medan ekstrem bisa menelan nyawa penyelamat jika salah langkah. Yang mereka tahu hanya satu: "kenapa lama?" Tanpa tanya, tanpa baca, langsung mencaci.

Yang lebih menjijikkan, tragedi ini dijadikan panggung politik. Kematian Juliana---yang seharusnya memantik empati dan introspeksi---malah dijadikan amunisi untuk menyerang pemerintah. Korban belum dikubur, tapi sudah diseret dalam narasi kebencian, seolah nyawanya bisa dikapitalisasi demi likes dan retweet. Ini bukan sekadar tidak pantas. Ini keji.

Ironisnya, sebagian dari mereka yang paling vokal bahkan tak tahu bagaimana prosedur SAR bekerja. Mereka tak pernah merasakan kabut turun dalam lima menit, atau jalan di jalur yang licin, curam, dan bisa longsor kapan saja. Tapi tetap merasa paling tahu. Mereka bicara soal kecepatan, padahal tak mengerti bahwa kadang lambat itu pilihan yang paling aman.

Ini bukan tentang menolak kritik. Kritik diperlukan, terutama jika ada hal yang bisa diperbaiki. Tapi kritik tanpa dasar, yang lahir dari ketidaktahuan dan dibumbui emosi, hanya akan menambah luka. Ini bukan saatnya untuk bermain-main dengan kematian orang lain. Ini saatnya untuk berhenti bersikap sok tahu.

Juliana Marins bukan simbol politik, bukan bahan bakar konten, dan bukan alat kampanye. Ia manusia. Ia punya keluarga yang berduka dan berharap semua ini tidak dipelintir menjadi arena omong kosong. Menghormati dia berarti menghormati fakta, menghargai mereka yang berusaha menyelamatkan, dan mendorong evaluasi yang masuk akal---bukan omong kosong penuh kemarahan.

Sudah waktunya kita belajar diam sebelum paham, membaca sebelum bicara, dan berpikir sebelum mengetik. Karena terlalu banyak orang di negeri ini yang merasa punya hak bicara, tapi tak pernah merasa punya kewajiban untuk mengerti.

Sebelum jari-jari kita gatal meluncurkan caci maki, tanyakan satu hal: apa yang sedang saya bangun---solusi, atau sekadar pelampiasan ego?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline