Software engineering merupakan bidang multidisipliner yang memadukan prinsip-prinsip rekayasa, ilmu komputer, dan praktik manajemen untuk membangun sistem perangkat lunak yang andal dan efisien. Seiring berkembangnya teknologi, muncul kebutuhan untuk menghasilkan riset yang tidak hanya teoretis tetapi juga aplikatif. Namun, dalam praktiknya, masih terdapat kesenjangan besar antara dunia akademik dan industri perangkat lunak. Banyak inovasi dari laboratorium yang tidak diadopsi oleh praktisi karena dianggap tidak relevan, sulit diimplementasikan, atau tidak sesuai dengan kebutuhan bisnis.
Design Science (DS) hadir sebagai pendekatan penelitian yang menawarkan jembatan antara dunia riset dan praktik. DS berfokus pada penciptaan artefak seperti model, metode, atau alat bantu---yang secara langsung menyelesaikan masalah nyata, sambil tetap memberikan kontribusi terhadap pengetahuan ilmiah. Dalam konteks software engineering, pendekatan ini sangat relevan karena dapat memfasilitasi kolaborasi antara peneliti dan praktisi dalam menghasilkan solusi yang bermakna.
Konsep Design Science dalam Software Engineering
Design Science adalah pendekatan sistematis yang terdiri dari proses identifikasi masalah, perumusan solusi, pembuatan artefak, demonstrasi, evaluasi, dan penyebaran pengetahuan. Artefak yang dikembangkan melalui DS tidak hanya diuji dalam kerangka teoritis, tetapi juga dalam konteks dunia nyata untuk membuktikan efektivitas dan manfaatnya secara praktis.
Dalam software engineering, artefak DS bisa berupa algoritma baru, framework pengembangan, metode manajemen proyek, atau tool otomasi. Pendekatan ini memberikan keunggulan karena menggabungkan orientasi solusi dengan kontribusi akademik, menjadikannya relevan bagi kedua belah pihak: akademisi dan industri.
Tantangan Kesenjangan Riset dan Praktik
Terdapat beberapa penyebab utama mengapa kesenjangan antara riset dan praktik masih terjadi:
1. Perbedaan Tujuan
Akademisi sering fokus pada validitas teoretis dan kontribusi ilmiah jangka panjang, sedangkan praktisi lebih memprioritaskan efisiensi, waktu, dan biaya.
2. Kurangnya Komunikasi
Minimnya kolaborasi antara peneliti dan industri menyebabkan kurangnya pemahaman atas kebutuhan nyata di lapangan.
3. Validasi yang Terbatas