Lihat ke Halaman Asli

Media Sosial sebagai Wadah Kebahagiaan Palsu

Diperbarui: 1 Maret 2020   14:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi

Pernah mendengar perkataan, "Jangan iri dengan kebahagiaan seseorang di media sosial. Siapa tahu di kehidupan nyata dia menderita"? Oh, saya sering sekali dan tidak menampik hal tersebut. Memang benar, apakah kita mengenal dia dengan baik? Kita tidak tahu keseharian dia secara menyeluruh, bukan?

Pertanyaan untuk mereka, "Efektifkah menghibur diri dengan menunjukkan kebahagiaan palsu? Apakah membuat orang lain iri atau takjub dengan hal itu merupakan sebuah kepuasan?" Apabila benar, hati-hati, lama kelamaan akan menjadi bumerang.

Mendadak melankolis atau ingin menangis adalah salah satu efek ketika terlalu lama memendam kesedihan. Oleh karena itu, lampiaskanlah, terima perasaan itu. Mempunyai masalah mempercayai orang lain? Tidak masalah, curhat bukan solusi tunggal. Kamu bisa berdoa sampai tersedu-sedu, menulis, atau sarana lain sesuai pilihanmu.

Di Instagram saya melihat banyak unggahan mengenai bagaimana membuat perasaan lebih baik. Kebanyakan memang tidak ada opsi curhat ke orang lain, lebih ke bagaimana membuat diri kita senyaman mungkin. Misalkan, dari akun @thecrownllc, sembilan cara tersebut adalah meminum teh panas, membersihkan tempatmu, menuliskan perasaanmu, dapatkan sinar matahari, berusaha menepis pikiran negatif, membaca buku, matikan ponsel, mendengarkan motivasi, dan menangis.

Cukup membuktikan bukan kalau kamu bisa bangkit tanpa orang lain? Berdirilah di kaki sendiri. Tidak perlu mengambil risiko seperti ternyata masalah mereka lebih banyak, sehingga jengah denganmu atau hidup mereka kepalang bahagia, sehingga kesedihanmu hanyalah menjadi beban sebab merusak kesenangan itu.

Bijaklah bermain media sosial. Imbauan tersebut sudah sering kita jumpai. Saring sebelum sharing. Jangan sampai unggahan kita memberikan efek buruk untuk diri sendiri atau orang lain. Dunia tersebut hanyalah untuk bersenang-senang, bertukar informasi, dan penunjang hidup lain, bukan "rumah" utama untuk berlabuh.

Media sosial sebagai wadah kebahagiaan palsu, haruskah terus berlanjut? Membuat orang lain melihat bahwa hidup kita sempurna bukanlah jalan terbaik. Itu sama saja dengan menipu diri kita sendiri. Bagikan suka cita kalau memang itu perasaanmu. Mencari hiburan adalah untuk kepentingan pribadi, tidak perlu diumbar-umbar apalagi bertujuan agar mendapatkan "pengakuan" dari massa.

Takut momen kebahagiaan itu lenyap berkenaan dengan penyimpanan? Secara sederhana, unggahlah ke media sosial dengan mengubah privasi hanya kamu sang pemirsa. Terkesan memikirkan orang lain untuk berekspresi? Tidak, ini justru menyelamatkanmu dari kepura-puraan.

Tidak ada cela bagi kejujuran, lebih-lebih untuk diri sendiri. Bagikan kebahagiaan di media sosial kalau memang itu perasaanmu. Saat bersedih, simpanlah untuk diri sendiri. Saya pernah membagikan hal tersebut, tetapi bukan memiliki tendensi melankolis, melainkan sebuah semangat dan terdapat nilai pembelajaran. Tidak kalah penting, berdirilah di kaki sendiri. Syukur kalau ada orang peduli. Itu menandakan bahwa kamu beruntung. Keberuntungan terbesar adalah bertemu orang baik.

NB: Pemikiran ini sudah ada cukup lama, tetapi belum cukup niat untuk menulis. Kemarin saya ke Gramedia dan menemukan sebuah buku untuk gambar artikel ini. Seketika saya terpantik. Benar, sangat benar tagline tersebut! Sesungguhnya Berpura-pura Bahagia itu Melelahkan!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline