Lihat ke Halaman Asli

Panggung yang Tertukar

Diperbarui: 4 Oktober 2025   03:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Josh Applegate on Unsplash       

Kriet... (suara pintu dibuka)

"Hei ini yang ke enampuluh lima," bisikku lirih.

"Bukan. Enampuluh enam," balas Tia singkat lalu segera melenggang ke depan untuk menyambut seorang laki-laki paruh baya yang selalu datang dengan tawanya yang renyah. Suaranya sangat khas, kata orang sedikit nge-bass, serak-serak basah, mungkin bisa disamakan dengan almarhum Gito Rollies. Setelah mencium tangannya, Tia mempersilakan beliau duduk dan menanyakan minuman yang hendak dipesan.

"Tanganku kok tidak di-mmmuah Ya?"

"Wee enak aja, sana cepet ambilin asbak, kasih ke bapak"

Tia adalah barista yang handal. Dalam waktu singkat pesanan minuman siap diantar. Seperti biasa, kopi hitam yang diseduh dengan suhu yang tidak terlalu panas, menggunakan biji single origin arabica, dan tidak pakai gula. Lalu camilan setianya sudah pasti singkong goreng original tanpa taburan bumbu atau bubuk cabe.

Sssh... bapak membakar sebatang rokok kretek kesukaannya lalu menghisapnya kuat-kuat. Aku yang berada tidak jauh dari beliau segera beranjak mendekat dan menyerahkan asbak.

"Silakan bapak"

"Ah kau, baik kali kau mas"

"Sudah tugas saya bapak. Ngomong-omong, maaf bapak, bapak tidak dapat giliran lagi sore ini?" tanyaku berbasa-basi. Beliau hanya tertawa kecil sambil menggerak-gerakkan tangannya, menirukan gaya seorang aktor di sebuah panggung pertunjukkan lalu kembali menghisap rokok kreteknya. Kali ini asap tebal kreteknya membuat pikiranku melayang-layang pada banyak kejadian yang telah lalu...

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline