Lihat ke Halaman Asli

Hairil Suriname

Institut Tinta Manuru

Bukan Petani Sungguhan, Cerita Menanam Untuk Merawat Pikiran (Seri II)

Diperbarui: 8 April 2021   10:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto ; 99.co

Ini Artikel lanjutan dari Seri I, Baca di sini : Seri I

Hal ini menandakan bahwa tidak semua orang bisa menanam dengan baik meskipun punya bekal dari kecil karena latar belakang orang tuanya, disamping banyak metode yang dia kantongi. Gagal dalam hal menanam adalah hal biasa buat petani professional, petani sungguhan. Gagal menanam untuk petani yang bukan sungguhan dan bukan petani biasa adalah kesalahan luar biasa

Gagal merawat tanaman sayuran dibagian belakang karena terbuka, meskipun dibagian teras belakang sudah di pasangi kerangkeng kawat. Monyet menyerang sejadi-jadinya. Untung saja tanaman sayuran ini terpisah. Di bagian belakang, sawi hamper semuanya di lahap monyet. Ini hal yang paling menyakitkan. Disini, monyet adalah satwa lindung, tetapi sangat membosankan.

Jangankan sayuran, bunga didalam pot saja di bawa pergi bunganya. Tersisa hanya pot kosong tergeletak diteras rumah. Itu bagian lain dari cerita saya. Nanti saya akan tulis lagi hama terjahat untuk semua jenis tanaman di batam adalah monyet, menyebalkan.

Sampai menuju awal desember 2020, tugas memanggil. Sebagai seorang yang nganggur, mendapat tugas jalan-jalan adalah hal paling istimewa. Malamnya langsung prepare, paginya take off. Sebelum berangkat, saya terakhir menyapa tanaman saya sambil gumam aja, saya akan balik secepatnya. Menurut waktu tugas yang saya dapat hanya 4 hari, okelah, tancap gas tanpa pikir Panjang. Terbanglah dari batam ke Jakarta, makasar dan tiba di ternate.

Menyelesaikan yang telah ditugaskan, dan singkat cerita waktu target 4 hari menjadi 1 bulan. Isi kepala saya hanya tertuju pada mereka yang saya rawat selama beberapa bulan ini. Waktu masih rutin rawat saja terdapat beberapa masalah, apalagi tinggal dalam waktu sebulan, dan pasrah.

Kelar menyelesaikan tugas/urusan pekerjaan di ternate, buru-buru ambil tiket ternate-jakarta-batam, dan terakhir konfirmasi. Saya harus singgah dulu di Jakarta selama 3 hari untuk melanjutkan urusan/tugas kerja baru. Harus ke daerah bandung setiba dari ternate. Huh, menguras tenaga. Beginilah, ketika kita hanya pengangguran tidak seperti mereka yang sudah bekerja. Kapan dan dimana saja ketika ada kerjaan, pasti diambil. Dua hari berjalan, jakarta bandung dan kelarlah sudah.

Saya harus segera ke batam kalau tugas kerja saya sudah selesai. Mengapa saya sangat buru-buru balik ke batam?

Tiket sudah ada untuk penerbangan siang, tanpa banyak hal yang harus dipikirkan saat itu, hanya tanaman yang melintasi pikiran. Bisa dibayangkan, dua sampai tiga kali disiram dalam sehari, sedangkan untuk waktu satu bulan di tinggalkan. Potensi selamat dari keterpurukan karena kekurangan air dan kekeringan adalah 1%. Itu prediksi terekstrim yang pernah ada dalam kepala saya,

Selain itu, di batam bukan tanaman biasa melainkan bagian dari pikiran saya yang sudah saya tanam. Kalau tidak ada yang merawat, bagaimana resiko pikiran saya kedepan nantinya.

Banarlah pridiksi itu, setiba di batam menjelang sore hari. Yang di sapa bukan orang rumah, tetapi taman saya. Sangat tragis nasib mereka, mengering dan tidak terurus. Tinggallah 7 pohon cabai dan 6 pohon terong.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline