Seberapa dekat pejabat kita dengan buku?
Pertanyaan ini mungkin terdengar sederhana, tapi dampaknya sangat besar bagi kualitas kepemimpinan di negeri ini. Ironisnya, di tengah maraknya pejabat yang gemar pamer gaya hidup mewah, hampir tak ada yang terlihat pamer buku atau membicarakan bacaan yang memengaruhi cara berpikirnya. Padahal, dari bacaanlah lahir gagasan besar yang dibutuhkan untuk memimpin bangsa.
Budaya Baca yang Masih Memprihatinkan
Mari kita tengok data. Perpustakaan Nasional (Perpusnas) mencatat rata-rata masyarakat Indonesia hanya membaca enam buku per tahun. Jumlah waktu yang dihabiskan pun relatif rendah, sekitar 129 jam per tahun atau kurang dari setengah jam per hari. Sementara UNESCO menyatakan dari 1000 orang penduduk Indonesia, ternyata hanya satu orang yang memiliki minat baca. Indeksi minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001.
Studi internasional juga menempatkan Indonesia di posisi bawah dalam hal literasi. Dalam survei World's Most Literate Nations, kita tertinggal dari negara-negara lain di Asia Tenggara. Rendahnya akses terhadap bahan bacaan, ditambah kebiasaan masyarakat yang lebih condong pada konsumsi media instan, ikut memperburuk kondisi ini. Jika masyarakat umumnya sudah lemah dalam tradisi membaca, bagaimana dengan para pejabat yang memikul tanggung jawab besar atas arah bangsa?
Pejabat di sini bukan hanya presiden atau menteri. Istilah ini mencakup gubernur, bupati, walikota, anggota DPR dan DPRD, kepala dinas, hingga pejabat birokrasi eselon tinggi. Mereka inilah yang sehari-hari membuat keputusan, merumuskan kebijakan, mengalokasikan anggaran, dan menentukan prioritas pembangunan. Dengan kata lain, mereka memiliki kekuasaan besar yang langsung berpengaruh pada nasib masyarakat.
Tugas dan Pengetahuan Minimal Seorang Pejabat
Tugas utama pejabat publik bukan sekadar menjalankan rutinitas birokrasi, melainkan merumuskan kebijakan yang adil, efektif, dan berkelanjutan. Untuk itu, ada pengetahuan dasar yang seharusnya dimiliki: wawasan tentang administrasi publik, kebijakan ekonomi, sejarah bangsa, budaya masyarakat, kemampuan berpikir kritis, hingga keterampilan komunikasi publik. Tanpa itu semua, pejabat hanya akan jadi pengikut arus, bukan pengarah visi.
Bagaimana Agar Pejabat Bisa Amanah?
Pejabat yang amanah seharusnya menjadikan membaca sebagai bagian dari rutinitas, bukan sekadar simbol. Membuat perpustakaan mini di kantor, mengikuti diskusi lintas instansi, mendukung perpustakaan daerah, hingga melaporkan buku-buku apa yang dibaca kepada publik, bisa menjadi langkah konkret. Membaca bukan hanya menambah wawasan pribadi, tetapi juga menjadi teladan. Bayangkan jika seorang bupati secara rutin membagikan ringkasan buku yang dibacanya, tentu masyarakat akan lebih terinspirasi untuk ikut membaca.
Akibat Jika Pejabat Kurang Membaca
Kurangnya tradisi membaca di kalangan pejabat punya dampak serius. Kebijakan menjadi dangkal, reaktif, dan seringkali populis. Tanpa dasar pemikiran yang matang, keputusan publik lebih banyak bersandar pada opini sesaat atau tekanan politik. Akibatnya, kebijakan mudah gagal, tidak efektif, dan kadang justru merugikan rakyat.
Selain itu, pejabat yang miskin bacaan juga cenderung miskin inovasi. Mereka lebih suka mengulang pola lama atau meniru kebijakan negara lain tanpa penyesuaian. Publik pun kehilangan kepercayaan ketika pejabat sering salah bicara atau asal mengeluarkan ide tanpa riset.