Lihat ke Halaman Asli

Giri Lumakto

TERVERIFIKASI

Pegiat Literasi Digital

Mengamati Korelasi Berita Hoaks dan Radikalisme

Diperbarui: 11 Oktober 2019   14:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Scary Mask - ilustrasi: martaonthemove.com

Pertanyaan untuk kita semua. Apakah ada kaitan berita bohong dan radikalisme? Sejauh mana berita hoaks mengamplifikasi paham radikal? Apa fungsi berita bohong untuk kaum radikal, jika cek fakta internet bisa dilakukan?

Secara psikososial, bisa jadi berita bohong mengamplifikasi radikalisme. Terutama menyoal isu agama. Walau banyak yang menyangkal, terorisme yang subur karena paham radikal didorong motif SARA. 

Terutama radikalisme berdasar agama yang dibawa dari negara konflik. Konflik yang dibawa dari Suriah, Palestina atau Afganistan menjadi "bekal" para militan guna "berjuang" di negeri sendiri. Salah tempat sekaligus salah konteks sejatinya perjuangan yang mereka bawa.

Amplifikasi radikalisme ini pun diwadahi digital tribalism. Digital tribalism singkatnya seperti gangster yang bergerak online. Bertukar informasi dengan anonimitas dan kerahasiaan pada satu isu yang sensitif menjadi dasar pergerakan. 

Contohnya pada gerakan PEGIDA di Jerman. Gerakan garis keras kaum kanan yang menolak Islam. Dari mulai menolak imigran Suriah, sampai menyetop dana asing untuk pembangunan mesjid di Jerman dilakukan. Dan gerakan ini diinisiasi di Facebook, yang kemudian menjadi organisasi resmi.

Pada alur komunikasi enkripsi online, digital tribalism bergerak bebas. Para jihadis Suriah pun sempat menggunakan Telegram sebagai media komunikasi. Aparat siber mungkin hanya bisa mengamati arus komunikasi, tapi tidak dengan kontennya. Ada privasi yang kadang menjadi isu sensitif atas arus informasi a la digital tribalism.

Dan hoaks bisa jadi menjadi konsumsi users dalam lingkar digital tribalism ini. Demi propaganda tujuan bersama, fakta dipelintir, video diedit, atau foto direkayasa. Dan oknum-oknum yang terlibat bisa jadi elitis kelompok. Karena pada level ini, semua propaganda diolah dan disebarkan. Ditambah keyakinan ala naive realisme dan filter bubble sosmed, hoaks dicerna mentah-mentah.

Diluar lingkar digital tribalism, user sosmed seperti kita mendapat berita bohong. Jika menyoal isu sensitif, berita bohong menjadi viral. Contohnya foto dibawah ini. Seorang gadis dengan narasi menyedihkan ditujukan mengundang empati. Dari empati ini, mereka mengiring orang untuk berdonasi. Baik untuk tujuannya. Namun ada disinformasi pada redaksi dan foto.

Foto Aya seorang gadis di reruntuhan rumahnya di Suriah tahun 2014. Pada web UNRW, Aya diberitakan berasal dari Gaza di tahun 2017. - foto: unwatch.org.

Bagi orang yang sudah dicekoki paham radikal, foto di atas membangkitkan emosi. Bisa jadi dalam bentuk kemarahan atau malah menjadi emosi yang tertahan menjadi dendam. Dengan dendam yang dipupuk ini, aksi anarkis/mematikan bisa menjadi pembenaran. 

Dengan alasan saudara seagama menjadi korban di tangan rezim asing. Guna membalasnya, aksi bom bunuh diri bisa jadi dilakukan. Walau sekali lagi, analogi ini sesat karena tidak sesuai konteks dan tempat.

Akibat sepotong foto dengan caption salah, menyulut dan menyuburkan paham radikalisme. Bisa jadi, orang yang tadinya sekadar ingin tahu tentang paham ekstrimis. Malah terbawa arus komunikasi online digital tribalism. Apalagi bagi orang yang tidak melek literasi media dan digital. Berita bohong menjadi pintu gerbang seseorang menjadi bagian kelompok ekstrimis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline