Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hoaks, "Naive Realism", dan Konsensus Sosial ala Milenials

8 April 2018   22:22 Diperbarui: 9 April 2018   11:41 1515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Whisper - ilustrasi: brittonmdg.com

Mulai dari orang awam sampai tingkat doktor, bisa terjebak berita bohong. Era digital dengan "tsunami informasi" membentuk dua sisi prinsip. Di satu sisi, keyakinan atau kepercayaan yang kita anut semakin teguh. Berita mengenai petuah ahli ibadah, atau pembahasa kalam-kalam Tuhan berada dalam genggaman.

Namun di satu sisi pula, hal-hal yang kontra terhadap keyakinan mudah dinafikan. Alih-alih tidak setuju dengan informasi, menegasikan sumber informasi menjadi kian kentara. Dan dengan hakikat naive realism yang terbentuk ini, berita bohong menjadi komoditas oknum berotak kriminil.

Naive realism adalah sistem keyakinan pribadi yang menegasi realitas sebenarnya. Kebenaran musti merunut pada keyakinan sendiri. Pandangan berbeda kemudian dilabeli bias, irasional dan tak berdasar. Saat hoaks mengomodifikasi SARA, maka keyakinan pribadi pun terlibat. Yang penting adalah menyampaikan kebenaran. Klarifikasi atau validasi urusan belakangan. Walau informasi tersebut adalah hoaks. 

Saat naive realism ini menjadi komoditas dunia sosmed, maka konsensus sosial timbul. Karena posting hoaks sudah banyak di-share di grup WA, banyak like/komen di FB, atau trending di Twitter, maka dianggap benar. Walau sejatinya, konsensus sosial ala sosmed kadang relatif benar. Berita bohong yang dibungkus SARA, partisan, atau kesehatan kadang disokong oleh kerumunan palsu. Bisa jadi akun-akun me-like, komen, atau share adalah buatan beberapa orang saja.

Dan orang-orang atau akun asli dengan naive realism pun terjebak di lingkar setan hoaks. Sistem keyakinan mereka diotak-atik demi kepentingan politik, komersil atau golongan. Judul sensasional, bombastis, dan kadang penuh rekayasa menghiasi headline. Ditambah literasi membaca yang minim, membaca judul berita menjadi andalan memvalidasi berita. Berita bohong pun disebarkan. Dan pada tiap individu yang menyebar hoaks ini, mereka surut dan bersembunyi dari tuduhan menyebarkan hoaks.

Realitas sosmed seolah menjadi gambaran medan perang menjelang Pilkada atau Pilpres. Dengan didorong framing berita pada kasus Ahok misalnya, aksi turun ke jalan pun di lakukan. Atau berita akan munculnya tsunami 57 meter di beberapa pesisir pantai di Indonesia memantik kecemasan publik. Walau sejatinya hal ini hanyalah prediksi atas perhitungan geologis. Batas antara dunia maya dan nyata kian absurd pun kian kentara.

Berita bohong di sosmed kadang membuat kacau dunia nyata. Namun, dengan memahami literasi digital kita bisa membedakan informasi hoaks atau bukan. Naive realism pun bisa mengonsolidasi kalutnya sebaran berita bohong. Asalkan aparat berwajib, public figures, dan pemangku kepentingan duduk bersama, berita bohong bisa dihentikan. Mencari fakta atas informasi yang beredar pun menjadi tanggung jawab bersama.

Berbeda cara pandang sejatinya menciptakan dinamika peradaban. Pro dan kontra tak bisa dipungkiri mengkonstruksi sebuah solusi. Namun, jika ada pihak yang meracuni keyakinan demi kepentingan pribadi/golongan, rusaklah semua. Ditambah informasi yang kini semakin personal dan filtered, menyimpangkan keyakinan semakin mudah. Berita bohong menjadi komoditas racun sistem keyakinan milenials. Arus berita yang begitu masif dan variatif digunakan sebagai media memecah belah dengan kebohongan.

Konsensus sosial ala milenials pun dimediasi dunia maya. Komunikasi real time dan hyper-interactive tidak sekadar menghubungkan banyak orang. Namun membentuk hegemoni baru atas nama SARA, partai atau golongan. Dan saat mesin di sosmed menjebak users dengan filter bubble, kita sebaiknya banyak menelusur. Jangan satu sumber menjadi acuan semata. Validasi berita dengan teknik yang kekinian.

Upayakan literasi digital menjadi pegangan selain literasi dasar untuk kita. Mau tak mau, dunia digital menjadi artefak kebudayaan saat ini. Dunia digital bukan sekadar instrumen mempermudah kehidupan. Dan dibalik semua itu, ada generasi mendatang yang akan menggali lebih banyak lagi manfaat dunia digital. 

Hoaks hanya satu dari sekian banyak kejahatan dunia maya. Namun saat ini, hoaks yang harus kita perangi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun