Lihat ke Halaman Asli

Gilang Ramadhan

Bachelor of Education in Indonesian Language and Literature

Sastra Digital, Microfiction, dan Dunia yang Terlalu Cepat

Diperbarui: 9 Juli 2025   17:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Sastra Digital, Microfiction dan Dunia yang Terlalu Cepat. Sumber: Freepik.com/Freepik

Ada satu hal yang dulu tidak pernah kita bayangkan akan menjadi penentu nasib karya sastra: kecepatan jempol manusia. Bukan kecepatan berpikirnya, bukan ketajaman logikanya, bukan pula kedalaman emosinya. Hanya kecepatan jempol, yang menentukan apakah satu cerita akan dibaca hingga habis atau ditinggalkan di paragraf kedua.

Di zaman ini, nasib kalimat pembuka sebuah cerpen bisa setara dengan nasib seorang tukang tahu bulat yang mangkal di jalan perumahan elite: menarik, berbunyi nyaring, tapi kalau tidak viral dalam lima detik pertama, dia akan dilupakan begitu saja. Dan di sinilah kita, di antara layar yang menyilaukan dan dunia yang semakin tak sabar.

Microfiction, atau fiksi mikro, atau dalam istilah teman-teman penulis yang lebih senang menyederhanakan perkara: cerita yang pendek, padat, dan (harusnya) berisi. Fenomena ini bukan sepenuhnya baru. Hemingway sudah menulisnya dalam enam kata terkenal itu, For sale: baby shoes, never worn.

Tapi yang membedakan zaman Hemingway dengan zaman ketika semua orang bisa menjadi penulis karena punya akun Instagram adalah bahwa sekarang, semua orang merasa mereka Hemingway. Mereka merasa bisa merangkum tragedi Yunani, patah hati, sejarah peradaban, dan trauma masa kecil dalam 280 karakter atau kurang, lengkap dengan tagar dan efek filter sepia yang membuat cerita kehilangan aroma kertas dan justru berbau algoritma.

Tapi tentu saja saya bukan mau menjadi pengeluh tua yang merasa bahwa sastra telah hancur hanya karena sekarang dibaca lewat ponsel. Saya pernah menulis puisi di sela antrian BPJS, dan saya percaya bahwa inspirasi bisa datang dari sinyal yang lemah maupun sinyal yang kuat.

Yang saya pertanyakan bukan digitalnya, melainkan cara kita memperlakukan dunia digital seolah-olah dia adalah perpanjangan dari kemalasan kita berpikir. Ada paradoks dalam semesta mikro ini: kita ingin menyampaikan segalanya dalam waktu sependek mungkin, padahal hidup tidak pernah bisa dijelaskan sependek status 15 detik.

Yang lebih penting dari kecepatan jempol adalah kedalaman rasa. Fiksi mikro yang baik seharusnya seperti lelucon tragis: pendek, sederhana, tapi membuka cakrawala berpikir. Sebuah cerita 300 karakter bisa lebih menusuk dibanding novel 300 halaman, asal ditulis dengan hati, bukan hanya dengan kalkulasi kapan waktu terbaik untuk posting agar engagement naik.

Di sinilah kita harus berhenti sejenak dan bertanya: apakah kita sedang menulis untuk dibaca, atau sedang memproduksi konten agar tidak kalah dari teman SMA yang kini jadi selebgram buku?

Dan ketika pertanyaan itu muncul, saya jadi teringat betapa absurdnya dunia ini telah berubah. Dulu, menulis itu pekerjaan sepi, penuh kegagalan dan kelaparan, kadang bahkan diserang tipes. Sekarang, menulis adalah pekerjaan jempol, penuh notifikasi, dan kadang bau endorse kopi literasi.

Dan ironisnya, semakin pendek cerita yang kita tulis, semakin panjang ekor interpretasi yang diminta darinya. Dalam dunia yang mengutamakan scrollability dan bukan slow reading, cerita fiksi mikro telah menjadi semacam teka-teki spiritual: kita harus menebak emosi di balik jeda kalimat, menyimpulkan trauma dari satu metafora, dan merasa tercerahkan oleh tanda baca terakhir. Tapi apakah ini bentuk kemajuan literasi? Atau hanya cara baru untuk menyembunyikan kemalasan membaca di balik estetika minimalisme?

Saya pernah membaca sebuah microfiction yang hanya terdiri dari satu kalimat: "Dia datang dengan senyum, pulang membawa nyawa." Jumlah likes-nya ribuan. Di kolom komentar ada yang menulis: "Wow, menusuk!." Yang lain bilang: "Izin copas, Kamerad!" Tapi tak satu pun bertanya siapa "dia," kenapa dia datang, dan bagaimana ia bisa membawa nyawa pulang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline