Membayangkan Indonesia tanpa DPR terdengar seperti cerita fiksi politik. Namun justru karena terasa mustahil, wacana ini menarik untuk dibahas lebih dalam. Apa yang akan terjadi jika DPR bubar? Bagaimana demokrasi berjalan tanpa parlemen? Apa dampaknya terhadap kehidupan rakyat sehari-hari? Dan mungkinkah ada alternatif yang lebih baik? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang membuka ruang untuk berpikir lebih jauh mengenai masa depan politik Indonesia.
Demokrasi Tanpa Parlemen
Demokrasi modern identik dengan parlemen. Dari Inggris dengan House of Commons hingga Amerika Serikat dengan Congress, hampir semua negara demokratis punya lembaga legislatif. DPR di Indonesia lahir dari ide yang sama, yaitu menghadirkan representasi rakyat dalam pengambilan keputusan negara.
Tanpa DPR, representasi itu hilang. Tidak ada lagi jalur formal bagi suara rakyat untuk masuk ke dalam proses politik. Sebagian orang mungkin beranggapan demokrasi bisa tetap berjalan dengan sistem referendum atau voting langsung atas setiap kebijakan. Tetapi, apakah realistis?
Selain itu, tanpa DPR, kekuasaan akan terkonsentrasi di tangan Presiden. Pemerintah eksekutif bisa membuat undang-undang, menentukan anggaran, bahkan menetapkan aturan tanpa perlu perdebatan publik. Situasi seperti ini rawan melahirkan sistem otoriter. Pemilu mungkin tetap ada, tapi rakyat hanya memilih pemimpin tanpa wakil yang mengontrol kekuasaannya. Demokrasi berubah menjadi kulit kosong: tampak demokratis dari luar, tetapi isinya otoritarian.
Dalam sejarah, ada contoh negara yang sempat tidak punya parlemen. Libya di era Muammar Gaddafi, misalnya, pernah meniadakan parlemen dan menggantinya dengan sistem komite rakyat. Hasilnya, kekuasaan tetap terkonsentrasi pada elit tertentu dan rakyat tidak benar-benar memiliki suara. Indonesia jelas tidak bisa mengambil jalan yang sama jika ingin menjaga semangat demokrasi.
Siapa Mengawasi Pemerintah?
Salah satu fungsi vital DPR adalah pengawasan. Banyak yang menganggap DPR hanya sibuk membuat undang-undang atau berdebat soal politik, padahal pengawasan terhadap jalannya pemerintahan adalah peran yang tidak kalah penting.
Jika DPR bubar, siapa yang mengawasi Presiden dan para menteri? Media massa memang bisa menjalankan fungsi kontrol sosial, masyarakat sipil bisa mengawasi, bahkan aktivis bisa turun ke jalan. Tetapi mereka tidak memiliki legitimasi hukum yang kuat untuk membatasi kebijakan pemerintah.
Bayangkan jika pemerintah ingin mengalokasikan anggaran besar untuk proyek infrastruktur mewah yang hanya menguntungkan segelintir orang. Tanpa DPR, tidak ada mekanisme formal untuk menolak atau mengubah kebijakan itu. Protes publik bisa dilakukan, tetapi hasilnya sangat bergantung pada kemauan pemerintah untuk mendengar.