Lihat ke Halaman Asli

Frans Leonardi

TERVERIFIKASI

Freelace Writer

Pengoplosan BBM Kejahatan Keji yang Mengancam Publik

Diperbarui: 27 Februari 2025   10:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi SPBU Pertamina. Harga BBM di SPBU Pertamina, Shell, Vivo, dan BP AKR per 1 Februari 2025(DOK. Pertamina)

Bayangkan suatu hari kamu mengisi bahan bakar kendaraan seperti biasa di sebuah SPBU yang tampak resmi dan terpercaya. Tidak ada yang terlihat mencurigakan. Harga yang tertera di pompa sesuai dengan harga pasar, dan petugas di sana melayanimu dengan ramah. Kendaraanmu pun melaju seperti biasa tanpa kendala. Namun, seiring waktu, mesin mulai kehilangan tenaga, konsumsi bahan bakar terasa lebih boros, dan suara mesin terdengar lebih kasar dari biasanya. Kamu pun mulai bertanya-tanya: ada apa dengan BBM yang kamu gunakan?

Apa yang tidak kamu sadari adalah bahwa bahan bakar yang mengalir ke dalam tangki kendaraanmu mungkin bukan Pertamax asli. Ada kemungkinan bahwa itu adalah Pertalite yang telah dioplos dengan zat tertentu agar menyerupai Pertamax. Inilah praktik kecurangan yang saat ini semakin marak terjadi pengoplosan BBM dengan tujuan meraih keuntungan sebesar-besarnya tanpa peduli pada dampak buruk yang ditimbulkannya.

Pengoplosan BBM bukan hanya bentuk kecurangan ekonomi, tetapi juga kejahatan keji yang berdampak luas, baik bagi konsumen, industri otomotif, lingkungan, maupun negara. Ini bukan sekadar tindakan manipulatif, tetapi sebuah pelanggaran serius yang bisa membahayakan nyawa banyak orang. Dalam artikel ini, kita akan membedah lebih dalam mengapa praktik ini terus terjadi, bagaimana dampaknya terhadap berbagai sektor, serta apa yang bisa dilakukan untuk menghentikannya.

Mengapa Pengoplosan BBM Menjadi Masalah yang Terus Berulang?

Praktik pengoplosan BBM tidak muncul dalam ruang hampa. Ada sejumlah faktor yang mendorong maraknya tindakan ini, dan salah satunya adalah perbedaan harga yang cukup mencolok antara BBM bersubsidi dan non-subsidi. Seperti yang diketahui, Pertalite merupakan bahan bakar yang mendapat subsidi dari pemerintah, sementara Pertamax adalah BBM non-subsidi yang harganya jauh lebih mahal.

Misalnya, jika harga Pertalite ditetapkan sekitar Rp10.000 per liter, sementara Pertamax dijual dengan harga Rp14.000 per liter, ada selisih Rp4.000 per liter yang bisa dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan. Dengan melakukan pengoplosan, mereka dapat menjual BBM hasil oplosan dengan harga mendekati Pertamax dan tetap memperoleh keuntungan besar tanpa harus mengeluarkan biaya produksi yang tinggi.

Selain itu, lemahnya pengawasan di beberapa titik distribusi BBM juga membuka celah bagi pelaku untuk melakukan pengoplosan tanpa terdeteksi. Tidak sedikit kasus di mana BBM dioplos sebelum sampai ke SPBU atau bahkan di tempat-tempat ilegal yang sulit dijangkau oleh aparat penegak hukum. Modus operandi mereka semakin canggih, mulai dari mencampurkan Pertalite dengan zat kimia tertentu hingga mencampurnya dengan BBM kualitas rendah yang diperoleh secara ilegal.

Di balik praktik ini, ada jaringan luas yang bekerja secara sistematis. Mulai dari pelaku individu yang melakukan pengoplosan dalam skala kecil hingga sindikat besar yang memiliki akses terhadap distribusi BBM di berbagai daerah. Selama ada celah untuk meraup keuntungan, praktik ini akan terus berulang, kecuali ada langkah tegas untuk memberantasnya hingga ke akar-akarnya.

Dampak Serius bagi Konsumen dan Industri Otomotif

Salah satu dampak paling nyata dari penggunaan BBM oplosan adalah kerusakan mesin kendaraan. Kendaraan bermotor dirancang untuk bekerja dengan jenis bahan bakar tertentu yang memiliki spesifikasi sesuai dengan kebutuhan mesin. Ketika BBM yang digunakan tidak memenuhi standar yang seharusnya, maka proses pembakaran di dalam mesin menjadi tidak optimal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline