Lihat ke Halaman Asli

Frans Leonardi

TERVERIFIKASI

Freelace Writer

Dana Desa Tidak Transparan dan Kurangnya Pengawasan

Diperbarui: 21 Februari 2025   09:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi gaji, rupiah(Shutterstock)

Ketika pertama kali pemerintah menggulirkan program dana desa pada tahun 2015, banyak pihak berharap kebijakan ini menjadi solusi atas ketimpangan pembangunan antara desa dan kota. Janji bahwa setiap desa di Indonesia akan mendapatkan alokasi anggaran langsung dari pusat demi membangun infrastruktur, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memberdayakan ekonomi desa terdengar begitu menjanjikan. Namun, kenyataan di lapangan jauh dari ekspektasi.

Alih-alih menjadi sarana percepatan pembangunan, dana desa justru menjadi sumber masalah baru: penyalahgunaan anggaran, ketidakjelasan alokasi dana, proyek fiktif, hingga maraknya kasus korupsi oleh kepala desa dan perangkatnya. Transparansi yang minim serta lemahnya pengawasan membuka peluang besar bagi oknum untuk memperkaya diri sendiri dengan dalih membangun desa.

Ironisnya, sebagian besar masyarakat desa tidak menyadari bahwa mereka berhak mengetahui bagaimana dana desa dikelola. Banyak yang menganggap kepala desa dan perangkatnya sebagai pemegang kendali penuh tanpa perlu mempertanggungjawabkan dana yang mereka kelola. Padahal, tanpa transparansi dan pengawasan yang ketat, dana desa yang seharusnya menjadi alat perubahan malah berubah menjadi lahan subur bagi korupsi.

Ketidakjelasan Pengelolaan Dana Desa

Dalam praktiknya, pengelolaan dana desa di banyak daerah cenderung tertutup. Jika kamu bertanya kepada warga desa, "Apakah kamu tahu berapa besar anggaran yang diterima desa tahun ini dan digunakan untuk apa saja?" mayoritas akan menggelengkan kepala. Kurangnya akses terhadap informasi publik menjadi salah satu penyebab utama mengapa penyimpangan dana desa sulit dideteksi sejak dini.

Tidak semua pemerintah desa secara terbuka mengumumkan laporan keuangan mereka. Seharusnya, penggunaan dana desa dapat diakses dengan mudah melalui papan informasi desa, situs resmi, atau media sosial. Namun, realitanya, banyak desa yang tidak memiliki sistem dokumentasi yang transparan. Bahkan, di beberapa daerah, laporan penggunaan dana desa hanya dicatat di buku yang tidak pernah diperlihatkan kepada warga.

Salah satu contoh nyata terjadi di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, di mana aparat desa terbukti melakukan korupsi dana desa hingga miliaran rupiah. Dana yang seharusnya digunakan untuk membangun fasilitas umum malah dipakai untuk kepentingan pribadi. Kasus ini terungkap setelah adanya laporan dari masyarakat yang merasa tidak melihat perubahan berarti di desanya meskipun dana desa telah dicairkan berkali-kali.

Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah adanya dugaan manipulasi data dalam laporan penggunaan dana desa. Beberapa desa melaporkan bahwa proyek pembangunan telah selesai, padahal di lapangan proyek tersebut bahkan belum dimulai. Misalnya, jalan desa yang dalam laporan keuangan disebut telah diaspal ternyata masih berupa tanah merah yang becek saat hujan.

Minimnya Pengawasan Celah Besar untuk Korupsi

Salah satu penyebab utama banyaknya kasus penyimpangan dana desa adalah lemahnya pengawasan. Idealnya, setiap desa diawasi oleh inspektorat daerah serta lembaga pengawas independen. Namun, jumlah tenaga pengawas yang terbatas membuat pengawasan tidak bisa dilakukan secara menyeluruh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline