Di balik nama Rumah Sakit Umum Daerah Aloei Saboe yang dikenal luas di Gorontalo, tersimpan sosok besar yang pengaruhnya melampaui sekadar institusi kesehatan.
Prof. Dr. dr. H. Aloei Saboe bukan hanya seorang dokter yang mendedikasikan hidupnya bagi pelayanan kesehatan masyarakat, tetapi juga seorang pejuang kemerdekaan yang terlibat aktif dalam perlawanan terhadap penjajahan belanda, seorang akademisi yang membangun fondasi keilmuan di bidang kedokteran, serta seorang cendekiawan muslim yang mengintegrasikan nilai spiritual dalam praktik medisnya.
Lahir di Gorontalo pada 11 November 1911 dan wafat di Bandung pada 31 Agustus 1987, perjalanan hidup Aloei Saboe adalah potret utuh pengabdian seorang negarawan terhadap bangsa, ilmu pengetahuan, dan kemanusiaan.
Kini, lebih dari tiga dekade sejak kepergiannya, Pemerintah Provinsi Gorontalo kembali mengusulkan Aloei Saboe sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2025 ini, setelah sebelumnya pertama kali diusulkan kepada Pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 2018 atau tepatnya 7 tahun yang lalu.
Dokter Gerilya dan Pejuang Kemerdekaan
Aloei Saboe bukan hanya seorang dokter, ia adalah wajah perjuangan dari sebuah generasi yang merintis kemerdekaan lewat ilmu, idealisme, dan keberanian. Semasa kuliah di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) Surabaya, ia tak hanya belajar ilmu kedokteran, tapi juga menyerap semangat pergerakan nasional.
Ia aktif di Jong Islamieten Bond sejak 1926, kemudian Indonesia Moeda, hingga bergabung dengan Partai Nasional Indonesia. Dari dunia kampus ke gelanggang politik, Aloei Saboe menjelma menjadi figur penting di PNI Gorontalo dan Sulawesi Utara.
Namun puncak keberaniannya tercatat pada 23 Januari 1942, ketika turut membantu Nani Wartabone dan Koesno Danupoyo, dalam pengepungan kantor dan kediaman residen Belanda di Gorontalo. Pengepungan saat itu bertujuan untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Gorontalo, tiga tahun lebih awal dari proklamasi di Jakarta. Hari itu, akhirnya rakyat mengibarkan Merah Putih dan menyanyikan Indonesia Raya untuk pertama kalinya di wilayah timur Nusantara.
Setelah proklamasi nasional, perjuangan Aloei Saboe tak berhenti. Ia memimpin Laskar Gorontalo dalam perlawanan terhadap tentara sekutu dan NICA yang mendarat di wilayahnya saat bertugas di Pulau Jawa. Tak hanya di medan tempur, dr. Saboe turut mengatur logistik perjuangan, mengirimkan obat-obatan dan alat kesehatan ke para pejuang di Banyuwangi dengan risiko tinggi.
Selain itu, ketika Negara Indonesia Timur dibentuk dalam konstruksi federal buatan Belanda, ia tampil sebagai juru bicara pembubarannya, memperjuangkan kembalinya Indonesia dalam satu kesatuan. Tahun 1955, ia melangkah lebih jauh ke panggung nasional sebagai anggota Konstituante Republik Indonesia, menyuarakan kepentingan rakyat Sulawesi Utara dan Tengah dalam pembentukan dasar negara.