Bekerja di luar negeri sering kali dipandang sebagai jalan cepat menuju kehidupan yang lebih baik. Namun, bagi banyak warga Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, harapan itu tidak selalu sejalan dengan kenyataan yang mereka temui di negeri jiran, Malaysia. Dalam upaya memahami lebih dalam kondisi tersebut, saya---sebagai mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura---berkesempatan melakukan kunjungan langsung dan wawancara lapangan di Kecamatan Sajingan Besar, salah satu wilayah perbatasan Indonesia--Malaysia yang menjadi jalur utama keberangkatan pekerja migran.
Dari lokasi ini, terbentang kisah tentang warga yang memilih menyeberang tanpa dokumen lengkap, menempuh jalur tidak resmi yang penuh risiko. Langkah ini kerap diambil bukan karena keinginan, melainkan karena dorongan ekonomi dan minimnya akses terhadap pekerjaan formal di daerah asal. Prosedur migrasi resmi yang panjang dan biayanya tidak sedikit turut menjadi alasan mengapa banyak yang memilih jalan pintas, meski dengan konsekuensi yang berat.
Melalui wawancara dengan para mantan pekerja migran dan keluarga mereka, tergambar jelas bagaimana banyak dari mereka bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi. Upah yang tidak sesuai, jam kerja berlebih, bahkan ketidakpastian pembayaran menjadi cerita umum. Tanpa status hukum yang sah dan kontrak kerja formal, posisi mereka begitu rentan---baik secara hukum maupun sosial. Ketika terjadi pelanggaran hak, nyaris tidak ada jalur resmi yang dapat mereka tempuh untuk mendapatkan keadilan.
Perlindungan hukum bagi mereka yang tidak terdokumentasi pun sangat terbatas. Mereka bekerja di bawah bayang-bayang eksploitasi dan ketidakpastian, tanpa banyak pemahaman tentang hak-hak dasar sebagai tenaga kerja migran. Dalam kondisi seperti ini, pelanggaran kerap dianggap sebagai hal biasa karena tidak adanya kekuatan legal untuk menuntut.
Banyak pekerja yang berharap agar regulasi migrasi bisa dipermudah, baik dari sisi biaya maupun prosedur administrasi. Mereka sesungguhnya ingin berangkat secara legal, namun jalur resmi masih terlalu jauh dari jangkauan masyarakat biasa.
Pengalaman langsung di lapangan menunjukkan bahwa migrasi bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal keadilan sosial dan kemanusiaan. Pekerja migran asal Sambas tidak hanya membutuhkan pekerjaan---mereka juga membutuhkan perlindungan yang nyata, pengakuan atas kontribusi mereka, dan kebijakan yang berpihak pada hak asasi manusia.
Sebagai mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi, saya melihat bahwa pembangunan di wilayah perbatasan tidak boleh hanya diukur dari angka pertumbuhan atau arus remitansi. Kita perlu meninjau ulang kebijakan migrasi dari perspektif keberlanjutan sosial dan kesejahteraan jangka panjang. Pekerja migran adalah bagian dari wajah ekonomi Indonesia yang bekerja keras di luar radar formal. Sudah semestinya mereka mendapatkan tempat yang layak dalam perhatian kita bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI