Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK) merupakan salah satu subsistem penting bagi pembangunan kesehatan di Indonesia dan termasuk ke dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang berperan sebagai pelaksana upaya kesehatan, mendukung pencapaian cakupan kesehatan menyeluruh atau Universal Health Coverage (UHC) dan diabadikan dalam Sustainable Development Goals (SDGs).
Dalam upaya mencapai Universal Health Coverage (UHC), pemerintah menerapkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan BPJS sebagai badan penyelenggara untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan masyarakat. Namun, dalam implementasinya permasalahan ketersediaan, aksesibilitas, akseptabilitas, dan kualitas sumber daya manusia kesehatan masih saja menjadi tantangan. Selain itu, distribusi sumber daya manusia kesehatan di puskesmas khususnya di wilayah Indonesia bagian timur masih kekurangan ataupun tidak memiliki tenaga dokter pada fasilitas pelayanan kesehatan. Pada wilayah Indonesia bagian barat, kekurangan tenaga disebabkan karena adanya peraturan terkait moratorium pengangkatan PNS. Tantangan ketersediaan sumber daya manusia juga terjadi di rumah sakit umum pemerintah maupun swasta yang kekurangan dokter spesialis baik medik dasar, penunjang, dan spesialis lainnya.
Kebijakan publik di bidang kesehatan berperan penting dalam menjaga kualitas kesehatan masyarakat. Proses pembuatannya melalui tahapan sistematis yang membentuk siklus kebijakan. Dimulai dari identifikasi masalah berdasarkan data dan kajian ilmiah, kemudian perumusan kebijakan dengan mempertimbangkan efektivitas, biaya, dan dampak sosial, serta melibatkan berbagai pihak. Selanjutnya, kebijakan disahkan oleh lembaga resmi, diimplementasikan oleh instansi terkait melalui penyediaan layanan dan edukasi, lalu dievaluasi untuk menilai keberhasilan dan dasar perbaikan ke depan.
Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan sistem jaminan kesehatan yang inklusif dan berkelanjutan. Salah satu kebijakan utamanya adalah penerapan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Sejak diluncurkan pada 1 Januari 2014, berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004 dan UU No. 24 Tahun 201 kebijakan ini terus mengalami penguatan dan transformasi demi menjamin akses layanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kepesertaan BPJS bersifat wajib dan diperkuat oleh sejumlah regulasi, seperti Perpres No. 111 Tahun 2013 dan Inpres No. 1 Tahun 2022, yang mewajibkan BPJS sebagai syarat dalam pengurusan administrasi publik. Sistem kelas layanan (I, II, III) digunakan sejak awal dengan tarif iuran berbeda, namun beberapa kali mengalami penyesuaian, termasuk kenaikan pada 2020. Untuk pembayaran layanan kesehatan, BPJS menerapkan sistem INA-CBG guna mengendalikan biaya dan meningkatkan efisiensi.
Sejak 2019, pemerintah memperketat validasi data dan kepatuhan pembayaran iuran, serta mulai mengintegrasikan BPJS dengan asuransi swasta melalui skema Koordinasi Manfaat (CoB). Inovasi juga terus dikembangkan, seperti aplikasi Mobile JKN dan layanan digital berbasis antrian online.
Pada 2024, pemerintah memperkenalkan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) melalui Perpres No. 59 Tahun 2024, yang akan menggantikan sistem kelas I–III secara bertahap hingga wajib berlaku penuh pada 30 Juni 2025. Peserta dapat meningkatkan layanan melalui top-up dengan asuransi tambahan yang diatur dalam skema Koordinasi Antar Penyelenggara Jaminan (KAPJ).
Pada kasus maldistribusi sumber daya manusia kesehatan dapat dipengaruhi karena terbatasnya sarana dan kelengkapan fasilitas pelayanan kesehatan, serta tidak memadainya insentif atau gaji sehingga banyak dokter spesialis ataupun tenaga kesehatan lainnya lebih memilih ke pelayanan kesehatan dan rumah sakit lain yang lebih baik ataupun tenaga kesehatan membuka klinik pribadi untuk mendapat tambahan penghasilan. Maldistribusi ini juga dipengaruhi karena pembayaran Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menjalankan sistem dana kapitasi menyebabkan perbedaan rentang pembiayaan khususnya di perkotaan akan mendapatkan pembiayaan lebih besar karena jumlah penduduk lebih besar dibandingkan di pedesaan. Permasalahan pembiayaan tersebut dapat berpengaruh pada rendahnya kemauan sumber daya manusia kesehatan untuk bekerja di wilayah pedesaan dan daerah 3T yaitu daerah tertinggal, terdepan, dan terluar di Indonesia atau jauh dari ibu kota provinsi sehingga kondisi perekonomiannya lambat akibat dari pembangunan infrastruktur di daerah yang belum merata, serta sulitnya akses menuju fasilitas pelayanan kesehatan.
Kesejahteraan tenaga kesehatan di Indonesia menghadapi tantangan baik dari aspek distribusi, penghasilan, maupun perlindungan sosial. Hasil survei Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) tahun 2022 menunjukkan rentang upah perawat sangat lebar di mana gaji terendahnya Rp600.000 dan tertinggi Rp2.500.000, sedangkan di DKI Jakarta dan sekitarnya berkisar Rp2.700.000 hingga Rp8.141.00. Jaminan sosial yang diterima belum sepenuhnya dinikmati semua perawat dengan persentase 61.5% yang sudah mendapat BPJS Kesehatan dan 39.1% yang mendapatkan BPJS Ketenagakerjaan. Selain itu, tenaga kesehatan juga menghadapi risiko kerja tinggi baik secara fisik maupun psikis. Perlindungan pada keselamatan kerja dan dukungan hukum pada tenaga kesehatan perlu diperhatikan mengingat banyak tenaga kesehatan yang bekerja di daerah terpencil atau dalam situasi darurat.
Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang No. 17 tahun 2023 tentang kesehatan sebagai bentuk reformasi sistem kesehatan nasional yang menyeluruh. Sebagai tindak lanjutnya, diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 tahun 2024 yang secara spesifik mengatur mengenai perlindungan hukum, hak imunitas, dan jaminan keselamatan kerja bagi tenaga kesehatan. Salah satu terobosan penting dalam UU No. 17 Tahun 2023 mengenai hak imunitas profesi yaitu hak bagi tenaga kesehatan untuk terlindungi dari tuntutan pidana atau perdata selama menjalankan tugas sesuai standar prosedur dan etika medis. PP No. 28 Tahun 2024 kemudian memperkuat aspek ini dengan mengatur mekanisme hukum dan administratif dalam menjamin perlindungan tersebut termasuk pembentukan lembaga advokasi tenaga kesehatan, pengawasan profesi, dan sistem pelaporan insiden kerja yang adil dan transparan. Selain itu jaminan keselamatan kerja menjadi fokus penting, terutama mengingat risiko paparan penyakit, kekerasan fisik, hingga tekanan mental di lingkungan kerja tenaga kesehatan.
Meskipun regulasi ini bersifat progresif, tantangan besar masih dihadapi dalam pelaksanaan di lapangan, terutama terkait pemerataan perlindungan bagi tenaga kesehatan non-PNS dan tenaga honorer. Saat ini, tenaga non-PNS masih mengalami kesenjangan signifikan dalam akses terhadap hak-hak dasar seperti jaminan hukum, tunjangan resiko, asuransi kesehatan, dan perlindungan profesi. Banyak fasilitas kesehatan, terutama di daerah terpencil belum sepenuhnya menerapkan ketentuan dalam PP No. 28 Tahun 2024 karena keterbatasan anggaran, kurangnya sosialisasi kebijakan, serta ketidakjelasan status kepegawaian kepegawaian tenaga kesehatan non-PNS. Tantangan lain adalah kurangnya mekanisme pengaduan dan pendampingan hukum yang mudah diakses oleh tenaga non-PNS saat menghadapi persoalan di lapangan. Hak imunitas profesi yang dijanjikan undang-undang belum sepenuhnya operasional, karena masih lemahnya koordinasi antar instansi, belum optimalnya lembaga profesi, dan minimnya dukungan hukum dari fasilitas kesehatan tempat bekerja.
Rasio tenaga kesehatan di Indonesia mengalami peningkatan dari 43,1 menjadi 54,2 per 10.000 penduduk antara 2019 hingga 2023 melampaui ambang batas Suistainable Development Goals (SDGs). Namun, rasio tersebut masih jauh di bawah standar WHO jika dilihat secara spesifik. Rasio dokter umum masih rendah, yakni sekitar 0,76 per 1.000 penduduk, dan dokter spesialis hanya 0,18 per 1.000 penduduk, jauh di bawah standar WHO. Rasio perawat di Indonesia juga masih kalah jauh dibandingkan negara maju, misalnya Swedia yang memiliki 12 perawat per 1.000 penduduk, sementara Indonesia hanya sekitar 2,1 per 1.000 penduduk.