Lihat ke Halaman Asli

Farichal Muafy

Pengajar Filsafat Islam

Agama Dipolitisasi

Diperbarui: 2 Maret 2025   21:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

RELIGION POLITIZED

AGAMA DIPOLITISASI

Politisasi agama merupakan fenomena yang melibatkan interaksi antara doktrin keagamaan dan dinamika politik dalam suatu masyarakat. Secara konseptual, politisasi agama dapat dikaji melalui perspektif sosiologi politik dan filsafat agama, yang menyoroti bagaimana nilai-nilai teologis digunakan dalam pembentukan kebijakan publik, mobilisasi massa, serta legitimasi kekuasaan. Dalam kajian teori politik, terdapat perbedaan antara sekularisme normatif yang menuntut pemisahan mutlak antara agama dan politik, dengan pendekatan integratif yang mengakui peran agama dalam membentuk norma sosial dan moral di ruang publik. Dalam konteks ini, tidak semua bentuk politisasi agama dapat dikategorikan sebagai penyimpangan atau manipulasi ajaran agama, terutama jika orientasi-nya adalah untuk menegakkan keadilan sosial, memperjuangkan hak asasi manusia, atau memperkuat etika politik yang sejalan dengan nilai-nilai moral universal. Namun, apabila agama digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan, menstigmatisasi kelompok tertentu, atau memicu konflik sosial, maka hal tersebut tidak hanya mereduksi esensi spiritualitas agama, tetapi juga dapat mengarah pada polarisasi sosial yang merugikan stabilitas politik itu sendiri. Analisis terhadap praktik politisasi agama harus dilakukan secara kritis dan kontekstual, mempertimbangkan dampak sosial, politik, dan moral yang dilahirkan oleh praktik tersebut.

Penggunaan agama untuk tujuan politik, merupakan fenomena yang memicu perdebatan multidimensi. Di satu sisi, ada pihak yang berpendapat bahwa praktik ini berpotensi merusak kesucian agama karena menempatkan nilai-nilai spiritual sebagai alat transaksional untuk meraih kekuasaan atau kepentingan pragmatis. Misalnya, penggunaan narasi keagamaan dalam kampanye yang dapat mengaburkan batas moralitas agama dengan ambisi duniawi. Kasus sejarah seperti perang Salib dan konflik keagamaan di berbagai negara menunjukkan bagaimana ajaran agama dimanipulasi. Di sisi lain, pihak yang mendukung praktik politisasi agama melihat-nya sebagai manifestasi alami dari peran agama dalam membentuk tatanan sosial. Mereka menekankan bahwa nilai-nilai keagamaan seperti keadilan dan perlindungan terhadap kaum lemah, perlu di-internalisasi dalam kebijakan publik. Gerakan sosial berbasis agama, seperti perjuangan pendeta Martin Luther King Jr. melawan rasisme di Amerika kala itu, atau peran organisasi keagamaan dalam melawan sistem apartheid di Afrika Selatan pada tahun 1990-an, menjadi bukti bahwa politik dapat diarahkan sebagai sarana transformasi sosial yang selaras dengan ajaran agama. Dalam konteks ini, agama tidak hanya menjadi rumah bagi ritual peribadatan, tetapi juga menjadi panduan etis bagi para pemimpin.

Nuansa politisasi agama terletak pada keberagaman bentuk dan tujuan-nya. Penggunaan agama dalam politik bisa bersifat inklusif, seperti advokasi kebijakan berbasis keadilan, atau bersifat eksklusif, seperti pembentukan hukum yang diskriminatif atas nama doktrin tertentu. Konteks sosio-kultural juga menentukan dampaknya; di masyarakat plural, politisasi agama yang inflexible berisiko memicu ketegangan, sementara di komunitas homogen, hal itu mungkin diterima sebagai bagian dari identitas bersama. Oleh karena itu, generalisasi politisasi agama sebagai hal baik atau hal buruk dinilai prematur tanpa memahami motif, metode, dan konteks-nya. Kunci penerimaan politisasi agama terletak pada keselarasan antara tujuan politik dan prinsip fundamental agama. Jika kebijakan yang diusung berorientasi pada kesejahteraan umum, menghormati hak kelompok rentan, dan tidak bertentangan dengan teks suci atau interpretasi otoritatif, maka ia bisa dianggap sebagai perluasan misi agama di ruang publik. Transparansi aktor politik, dialog antar umat beragama, serta pengawasan oleh otoritas keagamaan menjadi mekanisme penting untuk mencegah penyalahgunaan agama. Dengan demikian, politisasi agama bukanlah dikotomi hitam-putih, melainkan spektrum yang memerlukan analisa kritis dan kepekaan terhadap konteks agar tidak menodai kekudusan agama.

Fenomena politisasi agama yang negatif --eksklusif dan inflexible dalam masyarakat yang plural-- agama dipandang sebagai sumber daya strategis untuk membangun hegemoni, kontrol opini, atau justifikasi kebijakan tertentu. Politisasi agama dalam arti yang negatif, memperparah polarisasi sosial dengan memperkuat identitas kelompok yang didasarkan pada perbedaan agama atau aliran pemikiran. Hal ini memperbesar potensi konflik horizontal, sebagaimana terlihat dalam kasus communal violence di India antara mayoritas Hindu dan minoritas Muslim. Perdana Menteri India, Narendra Modi, menggunakan konsep Hindutva untuk meraih dukungan mayoritas Hindu. Modi menggunakan retorika anti-Muslim dalam kampanye politik-nya untuk meraih suara pemilih Hindu yang berpandangan anti-Muslim. Di Iran, setelah revolusi Islam Syi'ah tahun 1979, hukum dan kebijakan negara tersebut didasarkan pada interpretasi Syi'ah, yang berdampak pada diskriminasi terhadap kelompok Sunni dan Kristen. Di negara tercinta ini, politisasi agama tampak menguat pada Pilkada DKI Jakarta 2017.

Politisasi agama dapat mereduksi fungsi agama menjadi sekadar alat propaganda, sehingga merusak integritas spiritual dan etika agama tersebut. Misalnya, dalam sejarah, gereja-gereja abad pertengahan (abad ke-5 hingga abad ke-14) di Eropa digunakan untuk melegitimasi kekuasaan monarki melalui doktrin divine right of kings (hak ilahi para raja; mandat Tuhan kepada para raja), sementara di era modern, partai politik tertentu mengapitalisasi retorika religius untuk menggalang basis pemilih, seperti penggunaan isu syari'ah dalam kampanye elektoral di beberapa negara Muslim. Teori resource mobilization dalam studi gerakan sosial menjelaskan bagaimana elit politik memanfaatkan masjid, gereja, dan ormas keagamaan sebagai infrastruktur mobilisasi massa. Politisasi agama sering mengorbankan pluralisme dan hak kaum minoritas, namun tidak dipungkiri bahwa ia memiliki sisi positif, seperti yang terlihat dalam gerakan liberation theology di Amerika Latin, di mana agama Kristen dipolitisasi untuk memperjuangkan keadilan sosial dan ekonomi bagi kaum miskin yang tertindas saat itu. Dalam situasi globalisasi, fenomena politisasi agama semakin runyam sebab kemunculan cyber religion (agama dunia maya), di mana narasi agama dipolitisasi melalui media digital untuk menyebarkan dis-informasi atau radikalisme. Jos Casanova dalam Public Religions in the Modern World (1994) menekankan bahwa politisasi agama mengganggu prinsip sekularisme yang menjadi fondasi negara modern, meski sekularisme itu sendiri bisa menjadi alat represi jika diterapkan secara inflexible. Dengan demikian, agama dipolitisasi bukan sekadar dinamika lokal, tetapi merupakan isu transnasional yang memerlukan pendekatan interdisipliner untuk memahami dampak-nya terhadap demokrasi, hak asasi manusia, dan kohesi sosial (plural, atau cenderung homogen).

Dengan memahami mekanisme politisasi agama, masyarakat beragama bisa mengidentifikasi strategi 'kotor' dan praktik manipulatif yang dapat menodai kesucian agama, terutama ketika para aktor politik --atau tokoh agama yang menjadi sekutunya-- menggunakan sentimen agama untuk memperoleh dukungan. Studi kasus pada konflik sektarian di Timur Tengah menunjukkan bagaimana kelompok tertentu mengeksploitasi perbedaan teologis demi kepentingan politik, sementara di India, ketegangan komunal sering kali dipicu oleh retorika anti-Muslim yang mengaburkan batas antara kepentingan agama Hindu dan agenda partai politik Narendra Modi. Ketika agama dimanfaatkan sebagai alat politik, maka ajaran yang otentik dan yang telah dimanipulasi menjadi sulit dikenali, sehingga pemahaman tentang politisasi agama menjadi kunci untuk membedakan khutbah atau ceramah yang bertujuan menebar kedamaian dengan yang justru menyulut kebencian kepada pihak lain yang berbeda pilihan politik. Sejarah mencatat bahwa ajaran agama kerap dipelintir untuk mendukung agenda politik, sebagaimana yang dilakukan oleh Paus Urbanus II, dalam Perang Salib Pertama, di mana ia mengobarkan api perang suci untuk membenarkan agresi militer ke Timur Tengah. Pidato-nya yang berapi-api di Konsili Clermont Prancis pada tahun 1095 berhasil menggerakkan puluhan ribuan orang Kristen Eropa untuk bertempur merebut kembali Yerusalem dari tangan pasukan Muslim, sementara ia sendiri tidak ikut berangkat ke medan tempur.

Penerapan konsep Agama Dipolitisasi relevan dalam studi kebijakan publik dan tata kelola negara. Misalnya, di negara-negara sekuler seperti Turki, politisasi agama terlihat dalam kebijakan Partai AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi) --di bawah kepemimpinan Recep Tayyip Erdoan-- yang mempromosikan nilai-nilai Islam dalam pemerintahan, sementara di negara-negara dengan mayoritas Muslim, seperti Indonesia dan Malaysia, penerapan hukum syari'at menjadi isu politik yang kontroversial di kalangan umat Islam sendiri. Dalam buku The Cold War: A New History oleh John Lewis Gaddis (2005) dijelaskan bagaimana Amerika Serikat menggunakan agama sebagai alat identitas moral melawan ateisme Soviet. AS menggunakan narasi religius untuk memperkuat aliansi, serta memposisikan diri sebagai benteng dunia Kristen melawan ateisme-komunis, sementara Uni Soviet gencar memberi dukungan kepada berbagai gerakan sekuler dan anti-agama di negara-negara berkembang. Pernyataan ini valid secara historis, meski perlu diingat bahwa agama bukan satu-satunya faktor dalam aliansi kedua negara. Amerika Serikat menggunakan narasi Kristen untuk mobilisasi ideologis, sementara Soviet memanfaatkan sekularisme untuk melawan hegemoni Barat.

Penting untuk membedakan antara penggunaan agama yang bersifat instrumental ---sebagai alat untuk mencapai tujuan politik--- dengan keterlibatan agama yang otentik dalam ruang publik, karena agama dapat berperan dalam demokrasi jika dipraktikkan sebagai sumber moralitas dan keadilan sosial, bukan sebagai instrumen politik. Oleh karena itu, koreksi terhadap politisasi agama harus dimulai dengan pemisahan otoritas keagamaan dari otoritas politik, sambil tetap mengakui peran agama dalam membentuk etika publik. Program-program seperti interfaith dialogue dan pendidikan kewarganegaraan membantu memutus siklus konflik yang dipicu oleh politisasi agama. Selain itu, media dan platform digital perlu diawasi oleh Pemerintah untuk mencegah penyebaran narasi religius yang dipolitisasi. Regulasi yang ketat terhadap ujaran kebencian (hate speech) dan dis-informasi berbasis agama adalah langkah penting untuk menciptakan ruang publik yang lebih sehat. Dalam bidang studi teologi, koreksi terhadap politisasi agama memerlukan reinterpretasi ajaran agama yang berpotensi disalahgunakan. Maka, miskonsepsi jihad dalam agama Islam dan perang suci dalam Kristen, atau ajaran apapun yang dapat mengganggu harmoni sosial harus segera diluruskan, oleh para teolog dan para pemuka agama, melalui khotbah, ceramah atau tulisan-tulisan yang mengedepankan nilai-nilai universal kemanusiaan, dengan tetap menjaga kemurnian dari masing-masing agama.

Organisasi-organisasi hak asasi manusia, baik lokal maupun internasional, juga memainkan peran krusial dalam mengadvokasi kebijakan yang adil dan inklusif, serta memastikan bahwa agama tidak digunakan sebagai alat untuk menjustifikasi pelanggaran hak asasi. Di Indonesia ada Komnas HAM, lembaga negara pengawas pelaksanaan HAM, lalu ada KontraS --komisi untuk orang hilang dan korban tindak kekerasan--, dan berbagai Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat serta penyediaan layanan hukum kepada korban pelanggaran HAM. Sementara itu, di tingkat internasional, ada lembaga seperti Amnesty International yang berkantor pusat di London, dan Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di New York. Kemudian lembaga seperti FIDH (Federation for Human Rights) yang berkantor pusat di Paris, mengkoordinasikan kerja sama antar lembaga HAM di berbagai negara. Organisasi-organisasi ini, melalui kerjasama lintas negara dan pertukaran informasi ilmiah --hasil penelitian multidisipliner yang disertai dokumentasi-- turut berperan penting dalam merumuskan norma-norma internasional dan instrumen hukum yang mengikat, sehingga mampu menekan negara-negara yang melakukan pelanggaran HAM. Sementara itu PBB dan AoC diharapkan berkenan memfasilitasi dialog global untuk mengatasi berbagai pelanggaran hak asasi manusia (tanpa standar ganda), serta menegaskan kembali peran agama bagi masyarakat modern.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline