Lihat ke Halaman Asli

Konser K-Pop: Antara Riuh Hiburan dan Peluang Fiskal yang Terabaikan

Diperbarui: 26 Juli 2025   12:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Konser "Seventeen Right Here World Tour" in Jakarta 2025 (Sumber : Koleksi Penulis)

Februari 2025, Jakarta International Stadium (JIS) kembali bergemuruh dengan sorak-sorai para penggemar Seventeen, grup asal Korea Selatan. Ribuan penonton dari berbagai daerah datang menonton, menginap, berbelanja dan mengonsumsi produk serta jasa di sekitar lokasi konser. Fenomena ini menunjukkan bahwa konser K-pop bukan sekadar hiburan, tetapi juga menjadi pemicu perputaran ekonomi lokal. Namun, di balik gegap gempita ini, muncul pertanyaan: apakah negara telah mendapatkan manfaat fiskal yang sepadan?

Konser K-pop berskala besar tidak hanya berdampak pada konsumsi tiket, tetapi juga mendorong pengeluaran pada sektor pendukung seperti transportasi, penginapan, makanan hingga cendera mata. Menurut data dari Korea Foundation for International Culture Exchange, konser artis Korea Selatan di luar negeri dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan daerah, termasuk pajak hotel dan konsumsi. Di Indonesia, efeknya terlihat dari peningkatan tingkat hunian hotel, pendapatan UMKM sekitar arena, serta arus kunjungan dari luar kota.

Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menerapkan mekanisme Pajak Penghasilan (PPh) bagi artis luar negeri yang mendapat penghasilan dari dalam negeri yang tertuang pada Pasal 26 Undang-Undang PPh dengan pengenaan tarif 20% final atas jumlah bruto. Selain itu, terdapat aturan mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan tarif efektif 11% atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Namun dalam praktiknya, masih terdapat sejumlah tantangan teknis dan kelemahan pengawasan yang berisiko mengurangi efektivitas pungutan.

Pertama, skema pemotongan PPh terhadap pengisi acara luar negeri kerap kali bergantung pada pelaporan sukarela dari penyelenggara lokal. Titik rawannya berada pada transparansi kontrak, nominal honor, dan bentuk imbal jasa yang diterima seringkali tidak terakses langsung oleh otoritas pajak. Diperlukan reformulasi tata kelola, termasuk penguasan regulasi pelaporan dan kerja sama lintas lembaga seperti Direktorat Jenderal Imigrasi, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai hingga Kementerian Pariwisata.

Kedua, penerapan PPN untuk transaksi digital melalui PMSE memang berjalan. Namun, pengenaannya baru sebatas pungutan atas konsumsi digital (seperti layanan siaran langsung dan gim daring), belum menyentuh ekosistem pendukung acara seperti penjualan tiket melalui platform digital internasional, royalti cendera mata konser, dan pemasukan dari konten digital setelah kegiatan. Pendekatan sistemik berbasis pengawasan data dan kolaborasi dengan pelaku teknologi finansial dapat menjadi langkah awal memperluas basis pajak secara adil tanpa mematikan inovasi.

Tantangan global seperti konflik geopolitik dan ketidakpastian ekonomi dunia membuat strategi penerimaan negara tidak bisa mengandalkan sektor formal semata. Pemerintah dituntut adaptif menjangkau potensi penerimaan baru tanpa menambah beban pelaku ekonomi. Disinilah pentingnya prinsip keadilan dan proporsionalitas dalam pajak.

Penerapan pajak berbasis kegiatan ekonomi aktual, bukan sekadar klasifikasi sektor, adalah jalan tengah yang patut dicoba. Misalnya, pada kegiatan ekonomi besar yang bersifat temporer seperti konser internasional atau gelaran olahraga dunia, pemerintah dapat mengembangkan skema pungutan khusus bersifat final namun proporsional. Skema ini tidak menimbulkan beban administratif berlebihan, tetapi menjamin kontribusi nyata terhadap kas negara.

Selain itu, perluasan basis pajak juga harus dibarengi dengan peningkatan literasi pajak, khususnya kepada pelaku industri kreatif. Banyak pelaku lokal yang tidak memahami kewajiban perpajakan dalam ekosistem kolaboratif internasional, mulai dari pengisi acara lokal, agen bakat, hingga penyedia logistik. Pendekatan persuasif melalui edukasi dan insentif kepatuhan dapat menumbuhkan kesadaran pajak dari bawah.

Solusi jangka panjang untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak adalah penguatan ekosistem perpajakan yang kolaboratif. Pemerintah juga mendorong penerapan sistem pelaporan dan pembukuan yang transparan bagi promotor lokal yang menghadirkan artis asing. Salah satu alternatif yang dapat ditempuh adalah mewajibkan pendaftarkan acara besar melalui satu pintu berbasis sistem, yang tidak hanya mempermudah pengawasan tetapi juga meminimalkan potensi penghindaran pajak. Di saat yang sama, dukungan terhadap ekosistem industri kreatif juga tidak boleh diabaikan. Insentif perpajakan terbatas atau potongan khusus dapat diberikan bagi pelaku lokal yang membuka peluang kerja dan kolaborasi domestik dalam konser berskala internasional.

Transparansi juga menjadi kunci. Publik perlu diyakinkan bahwa pajak yang mereka bayarkan dari kegiatan hiburan atau transaksi digital akan kembali dalam bentuk layanan publik, infrastruktur, dan dukungan terhadap industri kreatif itu sendiri. Ini akan memperkuat kepatuhan sukarela dan mengikis persepsi negatif terhadap pajak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline