Krisis ini menunjukkan betapa rapuhnya pemerintahan minoritas di tengah parlemen yang terfragmentasi
Prancis sedang berada di tengah krisis politik yang mengguncang stabilitas pemerintahan dan perekonomian negara.
Perdana Menteri Francois Bayrou menghadapi mosi tidak percaya di parlemen, sebuah langkah yang ia ajukan sendiri untuk menguji dukungan terhadap rencana penghematan anggaran 2026 sebesar 44 miliar (sekitar Rp835,56 triliun).
Rencana ini mencakup kebijakan kontroversial seperti pembekuan belanja kesejahteraan, pensiun, dan penghapusan dua hari libur nasional, yang sangat tidak populer di kalangan masyarakat Prancis.
Latar Belakang Krisis
Krisis ini bermula setelah pengumuman Bayrou pada 25 Agustus 2025, yang memicu reaksi keras dari partai-partai oposisi, baik dari sayap kiri maupun kanan, yang berjanji akan menjatuhkan pemerintahan minoritasnya.
Oposisi melihat mosi tidak percaya ini sebagai peluang untuk mengakhiri pemerintahan Bayrou, yang baru menjabat sejak Desember 2024 setelah pengunduran diri Michel Barnier akibat mosi tidak percaya sebelumnya pada Desember 2024.
Defisit anggaran Prancis yang mencapai 5,8% dari PDB pada 2024---hampir dua kali lipat batas Uni Eropa sebesar 3%---menjadi pemicu utama ketegangan.
Bayrou berargumen bahwa penghematan diperlukan untuk mencegah risiko utang yang berlebihan, dengan menyatakan, "Negara kita dalam bahaya, karena kita menghadapi risiko terlilit utang berlebih."
Namun, kebijakan ini memicu kemarahan publik, dengan survei menunjukkan mayoritas rakyat Prancis (56%-69%) menginginkan pemilu baru dan banyak yang mendesak Presiden Emmanuel Macron untuk mundur.
Dampak Ekonomi dan Sosial