Di tengah riuhnya siapa berkuasa dan siapa kalah, penting bagi kita untuk tetap bertanya: Apa yang sudah mereka lakukan untuk bumi, rakyat, dan masa depan kita?
Pemilihan umum adalah instrumen demokrasi yang sejatinya menjadi sarana korektif terhadap kekuasaan.
Namun, dalam dinamika politik kontemporer Indonesia pasca pemilu 2024, gejala yang muncul justru menyerupai kondisi kecanduan---yang oleh sebagian pengamat sosial disebut sebagai fenomena "sakau politik".
Ibarat pecandu yang kehilangan dosisnya, masyarakat dan elit politik mengalami keterikatan emosional yang intens pada narasi kompetisi kekuasaan, melupakan substansi utama demokrasi: pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat.
SAKAU POLITIK
Istilah "sakau" berasal dari bahasa gaul yang merujuk pada gejala kehilangan atau ketergantungan akut terhadap zat adiktif.
Dalam konteks politik, "sakau politik" merujuk pada fenomena sosial ketika ruang publik dipenuhi obsesif oleh wacana siapa menang, siapa kalah, siapa koalisi, siapa oposisi, tanpa melanjutkan pada diskursus apa yang akan dilakukan untuk rakyat?
Fenomena ini bisa dilihat dari:
*Ramainya media dan media sosial membahas posisi menteri, reshuffle kabinet, dan konfigurasi kekuasaan.
*Menurunnya perhatian publik terhadap isu strategis seperti defisit BPJS, ancaman krisis air, BUMN merugi, atau perubahan iklim.
*Meluasnya konflik horizontal antar pendukung kandidat bahkan setelah pemilu selesai.