Ketika Israel meminta pelucutan senjata tanpa memberi jaminan perlindungan nyata, itu bukan "perdamaian"---tapi kapitulasi dalam sistem kolonialisme militer
Gagalnya upaya gencatan senjata terbaru antara Hamas dan Israel di bulan Juli 2025 tidak dapat dilepaskan dari elemen paling mendasar dalam konflik Palestina-Israel: ketidakpercayaan struktural yang dibentuk oleh sejarah kekerasan, pelanggaran janji, dan pengingkaran hak asasi manusia.
Tulisan ini akan membedah secara ilmiah dan kritis mengapa permintaan Israel agar Hamas dilucuti senjatanya dianggap sebagai bentuk penyerahan total, serta mengapa Hamas menolaknya, terutama ketika rekam jejak perlakuan Israel terhadap tahanan Palestina menunjukkan praktik penyiksaan, penghilangan paksa, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kajian ini menawarkan pembacaan ulang atas konsep "gencatan senjata" dalam konteks relasi kekuasaan timpang dan trauma kolonial modern.
Pendahuluan
Pertanyaan utama dari pembahasan ini adalah: Bisakah Israel dipercaya akan bersikap adil dan manusiawi jika Hamas menyerah?
Ini bukan semata pertanyaan strategis, melainkan eksistensial: menyangkut keberlanjutan hidup rakyat Gaza sebagai entitas politik dan biologis.
Gagalnya gencatan senjata Juli 2025 menunjukkan bahwa yang dipertaruhkan bukan hanya wilayah, melainkan nasib kolektif dan hak hidup suatu bangsa.
Permintaan Pelucutan Senjata dan Konsekuensinya
Dalam naskah gencatan senjata yang ditawarkan, salah satu tuntutan utama Israel adalah: "Pelucutan senjata penuh Hamas, dan penyerahan struktur militernya kepada otoritas keamanan yang diakui secara internasional."
Namun, dari sudut pandang kelompok bersenjata dan masyarakat Gaza: